Senin, 06 Mei 2013

2.3 REVIEW JURNAL HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN


Fungsi Dialektis Hukum dan Kekuasaan

Fungsi dialektis hukum dan kekuasaan adalah fungsi timbal balik
antara hukum dan kekuasaan. Fungsi hukum dan kekuasaan meliputi
fungsi kekuasaan terhadap hukum dan fungsi hukum terhadap
kekuasaan. Pembahasan pendahuluan akan mendeskripsikan fungsi
kekuasaan terhadap hukum, dimana ada tiga macam fungsi kekuasaan
terhadap hukum.
Pertama, kekuasaan merupakan sarana untuk membentuk hukum,
khususnya pembentukan undang-undang (law making). Kekuasaan untuk
membentuk hukum dinamakan kekuasaan legislatif (legislative power),
yang merupakan kekuasaan parlemen atau badan perwakilan.
Namun dalam perkembangannya, pembentukan undang-undang
tidak lagi menjadi monopoli parlemen, tapi kerjasama antara parlemen
dan pemerintah. Bahkan kecenderungan di berbagai negara menunjukkan
lebih besarnya peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang.
Hal itu bisa terjadi karena pemerintah mempunyai tenaga ahli yang
banyak dalam birokrasi pemerintahan guna menyiapkan konsep atau
rancangan undang-undang, yang merupakan produk hukum yang
bersifat umum dan mengikat seluruh warganegara.
Fungsi parlemen juga mengalami perkembangan dan pergeseran.
Sekarang, fungsi pokok parlemen tidak hanya sebagai badan pembuat
undang-undang, namun juga perlu dilihat sebagai media komunikasi
antara rakyat dan pemerintah, serta berfungsi sebagai jalur rekruitmen
kepemimpinan politik sekaligus sebagai badan pengelola konflik yang
berkembang di masyarakat.26
26 Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat, Rajawali, 1995, hlm. 10.
180 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Namun otoritas pembentukan ketentuan hukum yang bersifat umum
bukan hanya menjadi kekuasaan legislatif, tapi juga menjadi wewenang
badan peradilan, khususnya sistem hukum Anglosaxon yang mengakui
yurisprudensi sebagai sumber hukum pokok. Yurisprudensi menjadi acuan
penyelesaian kasus-kasus yang sejenis, sehingga bersifat umum. Dengan
demikian, kekuasaan apa saja yang mempunyai otoritas pembentukan
hukum dipengaruhi pula sistem hukumnya.
Kedua, kekuasaan merupakan alat untuk menegakkan hukum.
Penegakan hukum adalah suatu proses mewujudkan keinginan-keingian
hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan
hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undangundang
yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum.27
Penegakan hukum bukan sekedar menerapkan aturan-aturan hukum
formal saja, tapi juga mengkaitkan secara langsung aturan-aturan hukum
itu dengan semangat atau spirit yang melatarbelakangi lahirnya aturanaturan
tersebut. Penegakan hukum yang semata-mata menegakkan
aturan formal tanpa mengkaitkannya secara langsung dengan semangat
yang terkandung dalam aturan akan berlangsung dengan cara yang
sangat mekanismatik. Padahal tuntutan penegakan hukum tidak terbatas
pada pelembagaan prosedur dan mekanisme, tapi juga pada penerapan
nilai-nilai substantifnya.28
Kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan hukum merupakan
ororitas negara yang kemudian didistribusikan kepada institusi-institusi
formal yang secara operasional melaksanakan fungsi penegakan hukum.
Salah satunya didistribusikan kepada kepolisian, sebagai lembaga yang
akan mendorong masyarakat untuk mentaati aturan-aturan hukum dan
mencegah masyarakat dari pelanggaran hukum (penegakan hukum secara
preventif), agar tercipta ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Di samping itu, otoritas negara untuk menegakkan hukum diberikan
kepada badan peradilan (kekuasan yudikatif) untuk melakukan proses
peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran yang terjadi dalam
masyarakat (penegakan hukum secara represif). Penegakan hukum secara
represif bertujuan untuk mempertahankan legalitas aturan hukum dengan
cara menghukum para pihak yang melanggar hukum.
27 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, hlm. 24.
28 Salman Luthan, “Penegakan Hukum”, 1994.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 181
Ketiga, kekuasaan merupakan media untuk melaksanakan hukum.
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan hukum adalah upaya
menjalankan (eksekusi) putusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Putusan badan peradilan tidak akan banyak
artinya bagi kehidupan masyarakat jika tidak dilaksanakan secara
konsekwen dan konsisten. Otoritas eksekusi merupakan kewenangan
kejaksaan dan pengadilan.
Mengenai fungsi hukum terhadap kekuasaan ada empat macam.
Hukum adalah media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi hukum
terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi
yuridisnya. Setiap kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal
memiliki legalitas. Namun yang sering menjadi masalah adalah bila
kekuasaan yang legal itu adalah kekuasaan yang sewenang-wenang, tidak
patut, dan tidak adil. Hal itu sebenarnya merupakan masalah legitimasi
kekuasaan, yaitu pengakuan masyarakat terhadap keabsahan kekuasaan.
Legalisasi hukum terhadap kekuasaan mencakup legalisasi terhadap
kekuasaan, kedaulatan, wewenang, dan hak. Legalisasi kekuasan dapat
diberikan kepada lembaga, jabatan, dan orang. Legalisasi kekuasaan bagi
lembaga misalnya, bagi negara, lembaga-lembaga negara, unit-unit dalam
lembaga-lembaga negara, unit-unit pemerintahan, dan lembaga
kemasyarakatan. Legalisasi kekuasaan bagi pejabat misalnya, kewenangan
presiden, kewenangan gubernur, dan kewenangan bupati. Sedangkan
legalisasi hukum bagi orang adalah pemberian atau pengakuan hak bagi
seseorang. Misalnya, hak milik, hak cipta, hak usaha, dan sebagainya.
Kekuasaan yang dilegalisasi hukum belum tentu kekuasaan atau
wewenang yang adil dan patut. Oleh karena itu, agar legalitas hukum
sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepatutan, maka legalitas
kekuasaan juga harus didukung oleh legitimasi etis yang bersandarkan
pada persetujuan masyarakat terhadap kekuasaan.
Fungsi hukum terhadap kekuasaan yang lain adalah untuk mengatur
dan membatasi kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuasaan dalam
penyelenggaraan negara harus diatur sedemikian rupa supaya tidak
menimbulkan ambiquitas dan paradoksal di antara kekuasaan-kekuasaan
negara yang ada atau antara kekuasaan pejabat yang satu dengan
kekuasaan pejabat yang lain. Karena hal ini bukan hanya akan
menimbulkan ketidakjelasan wewenang dan pertanggungjawabannya,
tapi juga akan melahirkan ketidaksinkronan dan ketidakpastian hukum.
182 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Untuk menghindari terjadinya ambiquitas dan paradoksal pengaturan
kekuasaan, maka pengaturan kekuasaan harus dilihat dalam konteks satu
sistem hukum. Pendisitribusian wewenang dalam bidang hukum tertentu
harus disinkronkan dengan pengaturan wewenang dalam bidang hukum
lainnya. Misalnya, harus ada sinkronisasi kewenangan antara kewenangan
dalam bidang hukum tata negara dengan kewenangan dalam bidang
hukum pemerintahan.
Selain fungsi melegalisasi dan mengatur kekuasaan, fungsi hukum
terhadap kekuasaan yang lain adalah membatasi kekuasaan. Pembatasan
kekuasaan dapat dilakukan secara sistemik, organik dan yuridis.
Pembatasan kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada satu tangan atau pada
satu lembaga. Sentralisasi kekuasaan akan mendorong kepada
otoritarianisme dalam penyelenggaraan negara dan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power).
Menurut Bertrand Russel, sistem yang paling baik untuk mengontrol
kekuasaan adalah sistem demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sistem
terbaik bukan hanya karena adanya konsep pemisahan kekuasaan negara
secara seimbang, tapi juga karena dimungkinkan untuk selalu mengoreksi
kekuasaan tersebut.
Pembatasan kekuasaan secara organik dilakukan dengan membentuk
institusi-institusi pengawasan bagi pelaksanaan kekuasaan, baik yang bersifat
formal maupun yang bersifat informal. Sedangkan pembatasan kekuasaan
secara yuridis dilakukan melalui perumusan wewenang secara jelas mengenai
lingkup wewenang itu, limitasi dan pertanggungjawabannya.
Akhirnya, fungsi hukum terhadap kekuasaan adalah untuk meminta
pertanggungjawaban kekuasaan. Menurut Marion Levy, “kekuasaan
selalu menyimpulkan imbangannya oleh tanggung jawab, yang berarti
pertanggungjawaban dari individu-individu atau golongan-golongan
lainnya atas tindakan-tindakannya sendiri dan tindakan-tindakan orangorang
lain.”29
Pertanggungjawaban kekuasaan dalam konteks hukum adalah
untuk menjaga agar penggunaan kekuasaan dan mekanismenya sesuai
dengan tujuan pemberian kekuasaan tersebut. Penyalahgunaan kekuasaan
dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. Penyalahgunaan
29 Soemardi, Op. Cit., hlm. 32-33.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 183
kekuasaan dalam bidang hukum administrasi dapat dilakukan melalui
proses peradilan tata usaha negara, penyalahgunaan kekuasaan yang
merugikan kepentingan seseorang atau masyarakat dapat digugat
memalui peradilan perdata. Penyalahgunaan kekuasaan yang masuk
kategori tindak pidana dapat dituntut secara pidana. Demikianlah pokokpokok
pemikiran tentatif mengenai hubungan dialektis hukum dan
kekuasaan.
Penutup
Berdasarkan deskripsi di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama,
kekuasaan adalah suatu konsepsi hubungan sosial antara dua pihak atau
dua institusi yang bersifat saling pengaruh mempengaruhi, dominatif atau
eksploitatif. Kedua, hakekat hukum dapat ditinjau dari sudut otoritas yang
membentuknya, substansinya dan daya kerjanya dalam mengatur
masyarakat.
Ketiga, dialektika hukum dan kekuasaan melahirkan dua pola
hubungan, yaitu hukum identik dengan kekuasaan dan hukum tidak sama
dengan kekuasaan. Pola hubungan hukum identik dengan kekuasaan
merefleksikan diri dalam bentuk kedaulatan, otoritas, wewenang, dan
hak. Sedangkan pola hubungan hukum tidak sama dengan kekuasaan
memunculkan tiga pola hubungan: supremasi kekuasaan terhadap
hukum, supremasi hukum terhadap kekuasaan, dan hubungan simbiotik
hukum dan kekusaan.
Hubungan simbiotik hukum dan kekuasaan melahirkan hubungan
fungsional di antara keduanya, dimana kekuasaan mempunyai fungsi
tertentu terhadap hukum, dan hukum juga mempunyai fungsi tertentu
terhadap kekuasaan. Kekuasaan mempunyai fungsi sebagai alat untuk
membentuk hukum, menegakkan hukum, dan melaksanakan hukum.
Sedangkan fungsi hukum terhadap kekuasaan meliputi alat untuk
melegalisasi atau menjustifikasi kekuasaan, alat untuk mengatur dan
mengontrol kekuasaan, dan alat untuk mengawasi dan mewadahi
pertanggungjawaban kekuasaan.
184 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Daftar Pustaka
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum. Chandra Pratama. Jakarta: 1996
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesi. Jakarta. 1986
Bambang Cipto. Dewan Perwakilan Rakyat, Rajawali. Jakarta:1995
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, PT Gramedia. Jakarta:1988
Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik , Dhwiwantara.1964.
Karl Olivecrona, Law as Fact, Copenhagen-London: 1939.
L.B. Curzon.. Jurisprudence. M&E Handbook. 1979
Lili Rasjidi,. Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Rajawali. Jakarta: 1988
L.J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita. Jakarta:
1986
Max Weber, Wirtschaft und Geselschaft. Tubingen Mohr. 1982.
Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa. Sinar
Harapan. Jakarta: 1991
Padmo Wahyono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini,
Ghalia Indonesia. Jakarta: 1984.
Robert Strausz-Hupe.Power and Community. 1956
Salman Luthan, Penegakan Hukum, FH UII Yogyakarta: 1994
Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru. Jakarta 1984
Sri Soemantri, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945, 1984
Soelaeman Soemardi, Pendekatan Terhadap Kejahatan Sebagai Suatu
Fenomena Sosial. 1984
Talcott parsons, The Distribution of Power in AmericanSociety. World
Politics. 1957
_____, Sociological Theory and Modern Society. The Free press. New York:
1967

Tidak ada komentar:

Posting Komentar