Senin, 06 Mei 2013

2.2 REVIEW JURNAL HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN


Hubungan Hukum dan Kekuasaan

Pola hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum
adalah kekuasaan itu sendiri. Menurut Lassalle dalam pidatonya yang
termashur Uber Verfassungswessen, “konstitusi sesuatu negara bukanlah
undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”,
melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu
negara”13 Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan.
Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam
konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang
terdapat dalam negara tersebut dan hubungan-hubungan kekuasaan di
antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, aturan-aturan hukum
yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan
deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubunganhubungan
kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. Struktur kekuasaan
menurut UUD 1945 menempatkan MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat) dalam hierarki kekuasaan tertinggi. Hierarki kekuasaan di bawah
MPR adalah kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, yaitu presiden,
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung),
MA (Mahkamah Agung) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). UUD
1945 juga mendeskripsikan struktur kekuasan pusat dan daerah. Di
samping itu, juga dideskripsikan hubungan antara kekuasaan lembaga
tertinggi negara dengan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara,
hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi negara, dan
hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah.
Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivecrona
tak lain daripada “kekuatan yang terorgansasi”, dimana hukum adalah
“seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”, kekerasan fisik
atau pemaksaan yang dilakukan oleh penguasa, tidak berbeda dari
kekerasan yang dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh.14
13 L.J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1986,
hlm. 70.
14 Karl Olivecrona, Law as Fact, Copenhagen-London, 1939, hlm. 123, 169.
174 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak
identik dengan hukum. Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan
bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi ini tidak berarti bahwa
hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka. Hukum adalah kekuasaan,
akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. “Might is not right,”
pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya, akan tetapi tidak berarti
bahwa ia berhak atas barang itu.15
Esensi kekuasaan yang sama dengan hukum tersebut menurut Lassalle
adalah kekuasaan fisik, khususnya kekuasaan tentara dan polisi. Namun
menurut Van Apeldorn, kekuasaan fisik (materiil) itu bukanlah anasir
yang hakiki dari hukum, apalagi anasir yang esensial daripadanya.
Kekuasaan fisik itu biasanya hanya menjadi unsur tambahan: sesuatu
accesoir, bukan bagian dari hukum. Sebaliknya kekuasaan susila adalah
anasir yang esensial dari hukum, yakni kekuasaan yang diperoleh kaidahkaidah
hukum dari nilai yang diberikan oleh masyarakat padanya, dan
berdasarkan hal mana biasanya kaidah-kaidah itu dapat mengharapkan
pentaatan dengan sukarela oleh anggota-anggota masyarakat.16
Kekuasaan fisik adalah kekuasaan yang mengandalkan diri pada
kekerasan atau paksaan untuk memaksa ketaatan masyarakat kepada
aturan hukum yang berlaku dan bila melanggar akan dikenakan sanksi
hukum. Kepatuhan masyarakat kepada hukum sangat ditentukan oleh
kualitas aparatur pemaksa (polisi dan jaksa) dalam menjalankan tugasnya.
Sedangkan kesusilaan adalah kekuasaan batin yang bersumber kepada
kesadaran diri manusia mengenai kebaikan, kepatutan dan rasa keadilan.
Kepatuhan masyarakat kepada aturan hukum bukan karena ada paksaan
dari aparat penegak hukum, tapi berdasarkan kesadaran diri anggota
masyarakat yang dengan sukarela mematuhi aturan-aturan hukum.
Kekuasaan dalam lingkup kebijakan publik, khususnya kebijakan
hukum (legal policy) menetapkan batasan-batasan tindakan bagi seseorang
atau sekelompok orang berkaitan dengan yang dilarang maupun yang
dianjurkan, yang disertai dengan sanksi hukum tertentu. Hal ini bertujuan
untuk menjamin terselenggaranya ketertiban dan ketentraman bagi
hubungan sosial kemasyarakatan.
15 Ibid., hlm. 69.
16 Ibid., hlm. 73.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 175
Di samping hukum sama dengan kekuasaan, pola hubungan hukum
dan kekuasaan yang lain adalah bahwa hukum tidak sama dengan
kekuasaan. Artinya, hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang
terpisah, tapi ada hubungan yang erat di antara keduanya. Hubungan
itu dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan resiprokal (timbal
balik). Ada tiga bentuk manifestasi hubungan hukum dan kekuasaan
dalam konteks ini.
Pertama, hukum tunduk kepada kekuasaan. Maksudnya, hukum
bukan hanya menjadi subordinasi kekuasaan, tapi juga sering menjadi
alat kekuasaan, dengan kata lain, kekuasaan memiliki supremasi terhadap
hukum. Oleh karena itu, definisi hukum yang dikemukakan oleh para
ahli menempatkan hukum berada di bawah kontrol kekuasaan.
Pendapat ahli hukum yang menggambarkan pandangan supremasi
kekuasaan terhadap hukum dikemukakan oleh Thrasimachus yang
mengungkapkan bahwa hukum tak lain daripada apa yang berfaedah
bagi orang yang lebih kuat. Pengertian yang hampir sama dikemukakan
pula oleh Gumplowicz yang mengungkapkan bahwa hukum bersandar
pada penaklukan yang lemah oleh yang lebih kuat; hukum adalah susunan
definisi yang dibuat oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan
kekuasaannya.17
Dalam perspektif Marxisme, hukum dibuat tidak untuk melindungi
kepentingan seluruh masyarakat, tapi untuk melindungi kepentingan
kelompok elit. Hukum adalah alat kaum kapitaslis untuk melindungi
kepentingannya dalam melakukan kegiatan bisnis, dan alat penguasa
untuk mempertahankan kekuasaannya. Hukum berpihak kepada pihak
yang berkuasa dan kaum kapitalis.
Kedua, kekuasaan tunduk kepada hukum. Artinya, kekuasaan berada
di bawah hukum dan hukum yang menentukan eksistensi kekuasaan.
Dalam pemikiran hukum, tunduknya kekuasaan kepada hukum
merupakan konsep dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Konsep
itu dirumuskan dalam terminologi supremasi hukum (supreme of law).
Supremasi hukum berarti bahwa hukum merupakan kaidah tertinggi
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hukum sebagai kaidah tertinggi muncul dalam konsep norma dasar
negara (staats fundamental norm) atau grund norm menurut pemikiran Hans
17 Ibid., hlm. 70.
176 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Kelsen. Di samping itu, supremasi hukum juga berarti bahwa penggunaan
kekuasaan untuk menjalankan kehidupan ketatanegaraan dan roda
pemerintahan harus berdasarkan kepada aturan hukum. Tanpa landasan
hukum, kekuasaan tidak memiliki legalitas.
Pada prinsipnya supremasi hukum tidak lain dari rule of law, sehingga
dalam suatu negara hukum harus terdapat supremasi hukum.
Menegakkan supremasi hukum tentunya harus ada rule of law (Loebby
loqman, Kompas 23-9-1999). Rule of law adalah suatu konsep yang
dipergunakan supaya negara dan pemerintahnya, termasuk warga negara
tidak melakukan tindakan kecuali berdasarkan hukum.
Timothy O’hogan dalam The End of Law dan A.V. Dicey dalam Law
and the Constitution menyebutkan prinsip-prinsip utama negara hukum
dalam kaitan tegaknya supremasi hukum. Prinsip-prinsip tersebut meliputi
pemerintahan berdasarkan hukum dan menghindarkan kekuasaan yang
sewenang-wenang, prinsip persamaan di depan hukum (equality before
the law), perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan adanya peradilan
yang bebas dan independen.
Ketiga, ada hubungan timbal balik (simbiotik) antara hukum dan
kekuasaan. Dalam hal ini hubungan hukum dan kekuasaan tidak bersifat
dominatif di mana yang satu dominan atau menjadi faktor determinan
terhadap yang lain, tapi hubungan pengaruh mempengaruhi yang bersifat
fungsional, artinya hubungan itu dilihat dari sudut fungsi-fungsi tertentu
dan dapat dijalankan di antara keduanya. Dengan demikian, kekuasaan
memiliki fungsi terhadap hukum, dan sebaliknya hukum mempunyai
fungsi terhadap kekuasaan.
Kekuasaan Dalam Konteks Hukum
Kekuasaan dalam konteks hukum berkaitan dengan kekuasaan
negara, yaitu kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang meliputi bidang legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara itu mencakup pengaturan dan
penyelenggaraan di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Dengan
demikian, kekuasaan merupakan sarana untuk menjalankan fungsi-fungsi
pokok kenegaraan guna mencapai tujuan negara.
Kekuasaan dalam konteks hukum meliputi kedaulatan, wewenang
atau otoritas, dan hak. Ketiga bentuk kekuasaan itu memiliki esensi dan
Salman L. Hubungan Hukum dan... 177
ciri-ciri yang berbeda satu sama lain, dan bersifat hirarkis.
Kekuasaan tertinggi adalah Kedaulatan, yaitu kekuasaan negara
secara definitif untuk memastikan aturan-aturan kelakuan dalam
wilayahnya, dan tidak ada pihak, baik di dalam maupun di luar negeri,
yang harus dimintai ijin untuk menetapkan atau melakukan sesuatu.
Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak
tergantung, dan tanpa kecuali18.
Kedaulatan atau souvereignity adalah ciri atau atribut hukum dari
negara-negara; dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan
ada yang berpendapat bahwa kedaulatan itu mungkin lebih tua dari
konsep negara itu sendiri19 Dalam teori kenegaraan, ada empat bentuk
kedaulatan sebagai pencerminan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Keempat bentuk kedaulatan itu adalah kedaulatan Tuhan
(Godsouvereiniteit), kedaulatan negara (staatssouvereiniteit), kedaulatan
hukum (rechtssouvereiniteit), dan kedaulatan rakyat (volkssouvereiniteit)20
Dalam kedaulatan Tuhan, kekuasaan terletak pada sumber kekuasaan
yang berasal dari Tuhan. Menurut paham kedaulatan negara, kedaulatan
itu ada pada negara, dan dalam kedaulatan hukum, yang berdaulat itu
bukan Tuhan dan bukan negara, tapi adalah hukum itu sendiri. Dalam
kedaulatan rakyat, yang berdaulat itu adalah rakyat, dimana rakyat
memberikan kekuasaannya kepada pemerintah melalui sistem pemilihan
umum.
Bentuk kedua kekuasaan dalam konteks hukum adalah wewenang.
Wewenang berasal dari bahasa Jawa yang mempunyai dua arti, yaitu
pertama, kuasa (bevoegdheid) atas sesuatu. Kedua, serangkaian hak yang
melekat pada jabatan atau seorang pejabat untuk mengambil tindakan
yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat terlaksana dengan baik,
kompetensi, yurisdiksi, otoritas21.
Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang.
Maka kekuasaan negara dapat disebut otoritas atau wewenang. Otoritas
atau wewenang adalah “kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan
18 Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, PT Gramedia, 1988, hlm. 53
19 Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik , Dhwiwantara, 1964, hlm. 92.
20 Sri Soemantri, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945, Lihat juga
Padmo Wahyono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia,
1984, hlm. 67.
21 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 633.
178 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
yang defakto menguasai, melainkan juga berhak menguasai. Wewenang
adalah kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan, jadi berhak
memberikan perintah22.
Bentuk ketiga kekuasaan dalam hukum adalah hak. Salmond
merumuskan hak sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh
hukum. Rumusan yang hampir sama dikemukakan oleh Allend yang
menyatakan bahwa hak itu sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum
yang dengannya seorang dapat melaksanakan kepentingannya (The legally
guaranteed power to realise an interest). Sedangkan menurut Holland
hak itu sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perbuatan
atau tindakan seseorang tanpa menggunakan wewenang yang dimilikinya,
tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisasi 23
Definisi hak menurut Holmes24 adalah “nothing but permission to exercise
certain natural powers and upon certain conditions to obtain protection,
restitution, or compensation by the aid of public force”. Hak dapat pula
diartikan sebagai kekuasaan yang dipunyai seseorang untuk menuntut
pemenuhan kepentingannya yang dilindungi oleh hukum dari orang lain,
baik dengan sukarela maupun dengan paksaan.
Dengan mengacu kepada beberapa pengertian tersebut dapat
diidentifikasikan ciri-ciri hak. Menurut Fitzgerald 25(1966:221), ciri-ciri
yang melekat pada hak adalah:
a. hak itu dilekatkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau
subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel
atas barang yang menjadi sasaran hak.
b. Hak itu tertuju pada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban
di mana antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
c. Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain utnuk melakukan
(monisson) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan. Hal ini
dapat disebut sebagai isi dari hak.
d. Perbuatan atau omission itu menyangkut sesuatu yang dapat disebut
sebagai objek dari hak.
e. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa
tertentu yang merupakan alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.
22 Suseno, Op.Cit., hlm. 53.
23 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Rajawali, 1988, hlm. 45.
24 Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 243.
25 Ibid., hlm. 244.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 179
Pengakuan hukum terhadap hak seseorang mengandung konsekuensi
adanya kewajiban pada pihak atau orang lain. Hal itu bisa terjadi karena
hubungan hak dan kewajiban bersifat resiprokal atau timbal balik.
Hubungan hak dan kewajiban terjadi dalam konsep hubungan hukum,
terutama dalam pelaksanaan hubungan hukum (hukum subjektif).
Kewajiban adalah suatu perintah hukum yang mengharuskan seseorang
untuk memenuhi suatu hal yang menjadi hak orang lain atau
melaksanakan perbuatan tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar