Senin, 06 Mei 2013

2.1 REVIEW JURNAL HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN


Hubungan Hukum Dan Kekuasaan
Oleh : Salman Luthan
Dosen FH UII Yogyakarta
E mail:
Abstract
Human being is a social creature which needs each other to fulfill the requirement of
live, anywhere he or she lives. And every place of human live have rules to keep the
peacefulness and justice among the individuals. These rules or laws were born to be
adapted for value expanding in society community compiled by people who have
power. Among law and power cannot be dissociated because law made by authority
and the authority obtain the power passing the laws.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 167

Karakteristik hubungan hukum dan kekuasaan, khususnya dalam hal
legalisasi kekuasaan dan penegakan hukum, dijelaskan oleh Mochtar
Kusumaatmadja dalam satu ungkapkan “hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Ungkapan
tersebut, pada satu sisi, mengandung arti bahwa kaidah-kaidah hukum
tidak akan ada manfaatnya jika tidak ditegakkan, dan hukum itu hanya
dapat ditegakkan dengan kekuasaan. Pada sisi lain, ungkapan itu
bermakna bahwa kekuasaan tanpa landasan hukum adalah kesewenangwenangan.
Namun yang sering menjadi permasalahan adalah tolok ukur legalitas
kekuasaan. Apakah setiap kekuasaan yang berdasarkan aturan hukum
dapat dikualifikasikan sebagai kekuasaan sah atau legal? Apakah
kekuasaan sewenang-wenang yang memiliki landasan hukum harus
diterima dan ditaati? Apakah kekuasaan yang sewenang-wenang dapat
melahirkan hukum yang adil? Apakah efektivitas penegakan hukum
tergantung pada legalitas kekuasaan? Dan apakah kekuasaan legal yang
sewenang-wenang dapat menegakkan hukum guna mencapai keadilan?
Meskipun hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
kekuasaan, tapi studi kekuasaan dalam perspektif hukum masih terbatas
sehingga konsep-konsep kekuasaan di dalam ilmu hukum tidak begitu
berkembang. Kecenderungan studi hukum lebih terfokus kepada 2 aspek,
pertama yaitu hukum dipandang sebagai kaidah yang menjadi pedoman
tingkah laku yang bersifat memaksa dan memberikan sanksi kepada orang
yang melanggarnya,dan yang kedua hukum dipandang sebagai realitas
sosial yang terjadi di masyarakat yang dipraktikkan melalui lembaga
peradilan (the living law), adanya pelanggaran-pelanggaran hukum
(perilaku pelanggar hukum), dan ketaatan terhadap hukum. Singkatnya,
hukum mengandung dua pokok utama, yaitu aturan yang seharusnya
dilakukan (das sollen), dan kenyataan yang ada dalam masyarakat (das
sein). Namun dalam kenyataannya hanya hukum yang hidup dan
pelanggaran hukum yang banyak dikaji, sedangkan ketaatan kepada
hukum tidak dianggap sebagai masalah.
Tulisan ini bermaksud mengkaji hubungan dialektis hukum dan
kekuasaan. Masalah pokok yang akan dibahas meliputi: bagimanakah
kekuasaan dalam konteks hukum, bagaimanakah hubungan dialektis
hukum dengan kekuasaan, serta bagaimanakah fungsi kekuasaan
terhadap hukum dan fungsi hukum terhadap kekuasaan?
168 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Esensi Kekuasaan dan Hukum
A. Esensi Kekuasaan
Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat, negara, dan umat manusia. Konsep hubungan
sosial itu meliputi hubungan personal di antara dua insan yang
berinteraksi, hubungan institusional yang bersifat hierarkis, dan hubungan
subjek dengan objek yang dikuasainya. Karena kekuasaan memiliki banyak
dimensi, maka tidak ada kesepahaman di antara para ahli politik, sosiologi,
hukum dan kenegaraan mengenai pengertian kekuasaan.
Max Weber,1 dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (1992)
mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam
suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun
mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini.” Perumusan
kekuasaan yang dikemukakan Weber dijadikan dasar perumusan
pengertian kekuasaan oleh beberapa pemikir lain Misalnya, Strausz-Hupe2
mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk memaksakan
kemauan pada orang lain” Demikian pula pengertian yang dikemukakan
oleh C. Wright Mills3, “kekuasaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan
untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang, artinya
kekuasaan mempunyai sifat memaksa”
Menurut Talcot Parsons4, kekuasaan adalah kemampuan umum untuk
menjamin pelaksanaan dari kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh
unit-unit organisasi kolektif dalam suatu sistem yang merupakan
kewajiban-kewajiban yang diakui dengan acuan kepada pencapaian
tujuan-tujuan kolektif mereka dan bila ada pengingkaran terhadap
kewajiban-kewajiban dapat dikenai oleh sanksi negatif tertentu, siapapun
yang menegakkannya. Pengertian ini menitikberatkan kepada kekuasaan
1 Miriam Budiardjo, “Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa,” Jakarta: Sinar
Harapan, 1991.hlm. l. 16. Lihat juga Max Weber, 1982, Wirtschaft und Geselschaft,
Tubingen Mohr, 1982.
2 Ibid
3 Soelaeman Soemardi, “Pendekatan Terhadap Kejahatan Sebagai Suatu Fenomena
Sosial.” Lihat juga Miriam Budihardjo,Ibid. Lihat juga Robert Strausz-Hupe, Power
and Community, 1956, hlm 12 dan 14.
4 Talcott Parsons, Oktober, “The Distribution of Power in AmericanSociety.” World
Politics. 1957, hlm.139.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 169
publik untuk menegakkan aturan-aturan masyarakat yang bersifat
memaksa demi untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Di samping pengertian kekuasaan sebagai kemampuan untuk
memaksakan kehendak atau kemauan kepada pihak lain, beberapa pakar
mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk membatasi tingkah
laku pihak lain. Harold D.Laswell,5 dan Abraham Kaplan mengatakan
bahwa “kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau
kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok
lain agar sesuai tujuan dari pihak pertama.
Seiring dengan pandangan Laswell dan Kaplan, Van Doorn6
mengungkapkan bahwa “kekuasaan adalah kemungkinan untuk
membatasi alternatif-alternatif bertindak dari seseorang atau suatu
kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama”. R.J. Mokken
merumuskan konsep “Kekuasaan adalah kemampuan dari pelaku
(seseorang atau kelompok atau lembaga) untuk menetapkan secara mutlak
atau mengubah (seluruhnya atau sebagiannya) alternatif-alternatif
bertindak atau alternatif-alternatif memilih, yang tersedia bagi pelakupelaku
lain”.
Kekuasaan dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat
dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu kekuasaan negara dan
kekuasaan masyarakat. Kekuasaan negara berkaitan dengan otoritas
negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan damai.
Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/kemampuan masyarakat untuk
mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan
kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga
interaksi sosial dapat berjalan secara lancar. Ketidakseimbangan diantara
keduanya akan mendorong terjadinya kekuasaan hegemonik di mana
negara sangat kuat dan masyarakat sangat lemah, sehingga tercipta pola
hubungan dominatif dan eksploitatif. Hal ini mengakibatkan negara bukan
hanya campur tangan dalam urusan-urusan kenegaraan dan
kemasyarakatan, tetapi juga intervensi atas seluruh tindakan masyarakat
yang sebenarnya bukan dalam lingkup wewenangnya.
Selain berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dan
penetapan alternatif-alternatif bertindak, kekuasaan juga mengandung
makna sarana pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat dan atas
5 Miriam Budihardjo, Op. Cit., hlm. 20.
6 Ibid., hlm. 17.
170 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
nama masyarakat.7 Pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat
mencakup pelaksanaan fungsi politik, pelaksanaan fungsi ekonomi,
pelaksanaan fungsi sosial dan budaya, pelaksanaan fungsi hukum dan
pemerintahan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi lainnya. Pelaksanaan fungsi
itu bertujuan untuk memperlancar interaksi sosial dan penyelenggaraan
kehidupan masyarakat.
Untuk keperluan tulisan ini, kekuasaan diartikan sebagai konsep
hubungan sosial dominatif yang menggambarkan adanya suatu kekuatan
yang dimiliki oleh seseorang atau satu pranata untuk memaksakan
kehendaknya kepada orang lain (termasuk pranata lain) yang dilakukan
melalui penetapan perintah-perintah atau pembuatan aturan-aturan
tingkah laku sehingga orang lain menjadi tunduk dan patuh terhadap
perintah-perintah dan aturan-aturan tingkah laku tersebut.
B. Esensi Hukum
Mengenai esensi hukum dapat dikemukakan bahwa ada perbedaan
pandangan di antara para ahli hukum tentang hukum. Perbedaan
pandangan itu dapat dilihat dari pengertian hukum yang mereka
kemukakan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, namun pengertian itu dapat
diklasifikasikan dalam empat kelompok.
Pertama, hukum diartikan sebagai nilai-nilai. Misalnya, Victor Hugo
yang mengartikan hukum sebagai kebenaran dan keadilan. Sejalan
dengan pengertian tersebut, Grotius8 mengemukakan bahwa hukum
adalah suatu aturan moral tindakan yang wajib yang merupakan sesuatu
yang benar. Pembahasan hukum dalam konteks nilai-nilai berarti
memahami hukum secara filosofis karena nilai-nilai merupakan abstraksi
tertinggi dari kaidah-kaidah hukum.
Kedua, hukum diartikan sebagai asas-asas fundamental dalam
kehidupan masyarakat Definisi hukum dalam perspektif ini terlihat dalam
pandangan Salmond9 yang mengatakan “hukum merupakan kumpulan
asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan”.
7 Talcott Parsons, Sociological Theory and Modern Society, New York: The Free
press, 1967, hlm. 308.
8 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama, 1996, hlm. 39.
9 L.B. Curzon, Jurisprudence, M&E Handbook, 1979, hlm. 24.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 171
Ketiga, hukum diartikan sebagai kaidah atau aturan tingkah laku
dalam kehidupan masyarakat. Vinogradoff10 mengartikan hukum sebagai
seperangkat aturan yang diadakan dan dilaksanakan oleh suatu
masyarakat dengan menghormati kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan
atas setiap manusia dan barang. Pengertian yang sama dikemukakan oleh
Kantorowich, yang berpendapat bahwa hukum adalah suatu kumpulan
aturan sosial yang mengatur perilaku lahir dan berdasarkan pertimbangan.
Keempat, hukum diartikan sebagai kenyataan (das sein) dalam
kehidupan masyarakat. Hukum sebagai kenyataan sosial mewujudkan
diri dalam bentuk hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat
atau dalam bentuk perilaku hukum masyarakat. Perilaku hukum terdiri
dari perilaku melanggar hukum (pelanggaran hukum) dan perilaku
menaati aturan-aturan hukum.
Perbedaan pandangan di antara ahli hukum bukan hanya mengenai
pengertian hukum, tapi juga mengenai hakekat hukum. Perbedaan
pandangan mengenai hakekat hukum ini tergambar dari munculnya
berbagai mazhab dalam pemikiran hukum. Pertanyaan pokok tentang
hakekat hukum berkaitan dengan hukum yang benar, apakah hukum
yang benar? Jawaban atas pertanyaan prinsipil tersebut beraneka ragam
dan saling kontradiktif.
Dalam paham hukum agama yang teistik, hakekat hukum adalah
perintah Allah. Hukum yang benar adalah hukum yang difirmankan dan
diperintahkan oleh Tuhan. Menurut doktrin Islam, hukum yang benar
adalah hukum Allah yang dirumuskan dalam Qur’an, dan hukum yang
disabdakan Rasul dalam hadis. Sedangkan bagi paham sekuler, hakekat
hukum tidak ada hubungannya dengan urusan keagamaan dan
ketuhanan, tapi merupakan urusan peradilan, kemasyarakatan, dan
kenegaraan.
Dalam konteks ini hakekat hukum bisa ditinjau dari empat perspektif,
yaitu perspektif otoritas (wewenang), perspektif substantif, perspektif
sosiologis, dan perspektif realis. Perspektif otoritas merupakan pandangan
paham positivisme yang menempatkan keabsahan hukum pada otoritas
pembentukan dan penegakan hukum.
Pemikir positivisme yang cukup berpengaruh, John Austin11
mengemukakan bahwa hukum adalah seperangkat perintah, baik
10 Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 34.
11 Ibid,. hlm. 40.
172 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga
masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen,
di mana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi).
Definisi yang hampir sama dikemukakan pula oleh Blackstone (Abad
XVIII) yang mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu aturan
tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa bagi
orang-orang yang dikuasai, untuk ditaati.
Berbeda dengan perspektif otoritas, perspektif substantif tidak melihat
keabsahan hukum dari sudut otoritas yang membentuk hukum tersebut,
tapi dari muatan atau isi yang terkandung dalam kaidah-kaidah hukum
tersebut. Pandangan ini tergambar dari pandangan John Locke yang
mengemukakan bahwa hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh
warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka,
untuk menilai mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana
yang merupakan perbuatan yang curang.
Perspektif historis meninjau keabsahan hukum berdasarkan
kebudayaan masyarakat, khususnya dalam jiwa rakyatnya. Von Savigny
menggambarkan bahwa keseluruhan hukum terbentuk melalui kebiasaan
dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara
diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, di mana akarnya
dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
Perspektif sosiologis meninjau keabsahan hukum itu dari sudut
kemampuan atau daya kerja hukum mengatur kehidupan masyarakat.
Pertanyaan pokoknya adalah, apakah hukum itu dapat berlaku secara
efektif untuk mengatur kehidupan masyarakat. Hakekat hukum menurut
perspektif sosiologis adalah hukum yang sesuai dengan fakta-fakta sosial.
Lundstedt mengemukakan hukum sungguh-sungguh berwujud eksistensi
dari fakta-fakta sosial, yang secara keseluruhan berbeda dari sekedar ilusi.
Kaum realis dapat digolongkan ke dalam perspektif sosiologis karena
sama-sama berpijak pada realitas sosial. Hakekat hukum menurut
pandangan realisisme adalah hukum yang hidup, yaitu hukum yang
dipraktekkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa
dan kasus-kasus hukum yang terjadi dalam masyarakat. Holmes12, seorang
hakim agung USA yang menjadi pendiri aliran realis, berpendapat “apa
yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya
12 L.B. Curzon, Op. Cit., hlm. 27.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 173
artikan sebagai hukum” Pendapat Holmes ini sejalan dengan pandangan
Llewellyn yang menyatakan bahwa apa yang diputuskan oleh seorang
hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu sendiri.

NAMA    : NANDA HENDRO LESMONO
KELAS   : 2EB08
NPM       : 25211091

Tidak ada komentar:

Posting Komentar