C.
Urgensi peraturan yang khusus mengatur asuransi dalam transaksi elektronik
melalui
internet ( e-commerce ) di Indonesia.
Saat ini kegiatan transaksi
bisnis yang menggunakan e-commerce pada dasarnya
belum diatur secara tegas dan
rinci, adapun sekumpulan peraturan internasional yang
mengatur berkaitan dengan
transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce ini masih
bersifat umum sehingga dalam
rangka penyelesaian sengketa transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce ini masih
terjadi kekaburan hukum, keadaan dimana
terjadinya kekaburan hukum dalam
hal penyelesaian sengketa transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce ini dapat
dilihat dari ketiadaan aturan hukum yang jelas dan
rinci sehingga hal ini akan
menghasilkan ketidakmampuan beberapa aspek dalam
menjalakan fungsi penegakkan
hukum. Ketiadaan aturan hukum ini juga terjadi pada
pengaturan hukum asuransi dalam
transaksi bisnis e-commerce. Pada dasarnya didalam
Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD) pasal 247 menyebutkan bahwa :
Pertanggungan
itu antara lain dapat mengenai: bahaya kebakaran; (KUHD 287 dst.)
bahaya yang
mengancam hasil pertanian yang belum dipanen; (KUHD 299 dst.) jiwa
satu orang atau
lebih; (KUHD 302 dst.) bahaya laut dan bahaya perbudakan; (KUHD
592 dst.) bahaya
pengangkutan di darat, di sungai, dan perairan pedalaman. (KUHD
686 dst.). Apabila kita
analisis, didalam pasal ini sudah jelas bahwa KUHD tidak
mengenal adanya asuransi yang
berkaitan dengan e-commerce. Bahkan regulasi terbaru
yang dibuat oleh pemerintah
Republik Indonesia yang mengatur tentang asuransi, yaitu
Undang-undang No. 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian pun belum mengatur
asuransi yang berkaitan dengan
transaksi elektronik e-commerce. Hal ini menurut
penulis wajar, karena Undang-undang
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
baru di sahkan oleh pemerintah
pada tanggal 11 Februari 1992 dimana pada saat itu,
transaksi elektronik e-commerce
belum ada di Indonesia. Apabila kita melihat realita
yang terjadi saat ini, karena
urgensinya, asuransi yang melindungi transaksi electronic
commerce tetap disediakan
oleh beberapa perusahaan asuransi, dengan alasan transaksi
e-commerce dapat
menimbulkan kerugian bagi para pihak yang ada di dalamnya dan
segala bentuk obyek yang dapat
menimbulkan kerugian berarti dapat di asuransikan.
Perdagangan melalui Internet
dengan menggunakan electronic commerce seperti
dijelaskan sebelumnya memiliki
banyak resiko. Resiko-resiko tersebut adalah:
penyadapan, penipuan, penggandaan
informasi transaksi, pencurian informasi rahasia,
dan sebagainya. Dalam transaksi electronic
commerce yang memanfaatkan kriptografi,
kejahatan tersebut dapat
dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah
pembobolan kunci dan pencurian
kunci.
Pembobolan kunci yang dimaksud
adalah ketika si pembobol memakai berbagai
cara untuk menemukan kunci yang
sama dengan yang asli. Cara pembobolan yang
paling umum digunakan adalah yang
dikenal dengan istilah brute force attack, dimana,
si pelaku mencoba berbagai
kemungkinan hingga akhirnya ia menemukan kunci yang
cocok.
Secure
Electronic Transaction yang menggunakan kriptografi dalam
pengamanannya adalah sistem
perdagangan Internet yang relatif paling aman dari
serangan-serangan yang mungkin
dilakukan dalam Internet, antara lain pembobolan
kunci dan pencurian kunci.
Pembobolan kunci mungkin saja terjadi. Besar kecilnya
kemungkinan ini ditentukan oleh
panjangnya kunci. Semakin panjang kunci makin
semakin sulit pula untuk
membobolnya.
Di lain pihak khususnya di
Indonesia, dalam konteks kekaburan hukum yang
berkenaan dengan cyber
insurance atau asuransi yang berkaitan dengan transaksi
electronic
commerce, bukan
menjadikan masalah yang menyebabkan penegak hukum
untuk tidak menyelesaikan suatu
perkara yang diberikan kepadanya, bagaimanapun
keadaannya sebagaimana yang
tertuang dalam ketentuan pasal 22 AB dan pasal 14
undang-undang No. 14 tahun tahun
1970 yang kemudian diubah dengan pasal 16
Undang-undang no. 4 Tahun 2004
tentang kekuasaan kehakiman mewajibkan “ hakim
untuk tidak menolak mengadili
perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak
lengkap, atau tidak jelas
undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib
mengadilinya.”
Untuk mengatasinya dalam pasal 27
Undang-undang no. 14 tahun 1970 yang
kemudian dirubah dengan pasal 28
ayat 1 Undang-undang no. 40 tahun 2004
menyebutkan : “hakim sebagai
penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum
yang hidup di dalam masyarakat”. Artinya seorang
hakim harus memiliki kemampuan
dan keaktifan untuk menemukan hukum
(rechtsvinding). Yang
dimaksud dengan rechtvinding adalah proses pembentukkan
hukum oleh hakim / aparat penegak
hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum
terhadap peristiwa yang kongkrit.
Dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya
untuk mengambil keputusan.
Namun, dalam penegakan hukum yang
berkenaan dengan perkembangan
teknologi dan informasi,
seharusnya pengaturan tentang hal tersebut telah ditetapkan
dalam peraturan tertulis, karena
pada dasarnya, perkembangan teknologi akan terus
menerus mengalami perkembangan
yang signifikan, sehingga peraturan yang ada harus
dapat mengikuti perkembangan
teknologi yang ada, untuk dapat menjamin adanya
kepastian hukum bagi masyrakat.
Perselisihan atau persengketaan
dalam asuransi merupakan suatu keadaan yang
tidak dikehendaki oleh para pihak
baik tertanggung maupun penanggung. Artinya jika
para pihak didalam asuransi
senang bersengketa/berselisih, dapat dipastikan bahwa
pihak tersebut tidak sehat. Akan
tetapi dalam pergaulan di masyarakat apalagi yang
menyangkut transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce, dimana kita hidup di
tengah orang yang berbeda tabiat
dan kepentingan, kita pasti tidak akan bisa sama sekali
untuk tidak berhadapan dengan
perselisihan/ persengketaan. Perselisihan /
persengketaan di dalam asuransi
yang berkenaan dengan transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce itu
bisa disebabkan adanya wanprestasi dari para pihak baik
penanggung maupun tertanggung,
misalnya apabila klaim asuransi yang diajukan oleh
tertanggung terlambat ataupun
tidak dibayarkan oleh pihak penanggung, ataupun pihak
tertanggung yang tidak mau
membayarkan premi asuransi sesuai dengan polis yang
telah disepakati pada saat
pengajuan asuransi dalam transaksi e-commerce ( cyber
insurance ). Suatu perselisihan /
sengketa dalam transaksi bisnis yang menggunakan ecommerce
pada prinsipnya akan melibatkan
beberapa Negara yang berbeda sehingga
dalam penyelesaian perselisihan /
sengketa, akan terdapat beberapa masalah yang
berkaitan dengan hukum yang
diberlakukan ( applicable law) masalah tempat / forum
penyelesaian perselisihan /
sengketa, dan masalah eksekusi putusan pengadilan / ADR7.
Dari uraian diatas, dapat diperhatikan
bahwa perkembangan teknologi informasi,
sadar atau tidak, telah
memberikan dampak terhadap perkembangan hukum, hal ini
merupakan tantangan sekaligus
peluang yang harus dihadapi khususnya dibidang
ekonomi dan hukum.
Perkembangan teknologi informasi telah
melahirkan model transaksi baru
dalam dunia perdagangan dan hal
ini juga akan menimbulkan sengketa dalam transaksi
bisnis tersebut. Untuk itu,
menurut penulis diperlukan adanya revisi peraturan
perundang-undangan tentang
asuransi, yang didalamnya terdapat bab khusus, yang dapat
memberikan pengaturan jelas
mengenai asuransi yang berhubungan dengan transaksi
bisnis e-commerce ( cyber
insurance ) , sehingga para pihak yang secara langsung
berhubungan dengan hal ini,
misalnya Bank, Lembaga Penyedia Layanan e-commerce,
Lembaga Otoritas Sertifikat,
serta konsumen yang biasa bertransaksi lewat dunia maya,
akan mendapatkan kepastian hukum,
sehingga tujuan hukum yang sebenarnya dapat
terrealisasikan. Transaksi e-commerce
tidak akan pernah luput dari risiko kerugian.
Perjanjian asuransi antara
lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi
merupakan cara tepat untuk
mengalihkan risiko kerugian, terutama pada transaksi ecommerce
yang menggunakan kunci
kriptografi dan secure electronic transaction.
Upaya ini sekaligus sebagai salah
satu sarana perlindungan hukum bagi pihakpihak
yang berkepentingan di dalamnya.
Menurut penulis, sekalipun perjanjian cyber
insurance antara lembaga
otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi merupakan
perjanjian asuransi yang sifatnya
baru dan perlu diatur secara khusus di dalam undangundang,
namun dalam pemberlakuannya harus
tetap memenuhi prinsip-prinsip yang ada
dalam Kitab Undang- Undang Hukum
Dagang sebagai dasar peraturan tentang asuransi
di Indonesia.
7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar