Senin, 06 Mei 2013

1.2 REVIEW JURNAL ANALISIS YURIDIS TENTANG HUKUM ASURANSI DALAM TRANSAKSI ELECTRONIC COMMERCE MELALUI PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG


C. Urgensi peraturan yang khusus mengatur asuransi dalam transaksi elektronik
melalui internet ( e-commerce ) di Indonesia.

Saat ini kegiatan transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce pada dasarnya
belum diatur secara tegas dan rinci, adapun sekumpulan peraturan internasional yang
mengatur berkaitan dengan transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce ini masih
bersifat umum sehingga dalam rangka penyelesaian sengketa transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce ini masih terjadi kekaburan hukum, keadaan dimana
terjadinya kekaburan hukum dalam hal penyelesaian sengketa transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce ini dapat dilihat dari ketiadaan aturan hukum yang jelas dan
rinci sehingga hal ini akan menghasilkan ketidakmampuan beberapa aspek dalam
menjalakan fungsi penegakkan hukum. Ketiadaan aturan hukum ini juga terjadi pada
pengaturan hukum asuransi dalam transaksi bisnis e-commerce. Pada dasarnya didalam
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 247 menyebutkan bahwa :
Pertanggungan itu antara lain dapat mengenai: bahaya kebakaran; (KUHD 287 dst.)
bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum dipanen; (KUHD 299 dst.) jiwa
satu orang atau lebih; (KUHD 302 dst.) bahaya laut dan bahaya perbudakan; (KUHD
592 dst.) bahaya pengangkutan di darat, di sungai, dan perairan pedalaman. (KUHD
686 dst.). Apabila kita analisis, didalam pasal ini sudah jelas bahwa KUHD tidak
mengenal adanya asuransi yang berkaitan dengan e-commerce. Bahkan regulasi terbaru
yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia yang mengatur tentang asuransi, yaitu
Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian pun belum mengatur
asuransi yang berkaitan dengan transaksi elektronik e-commerce. Hal ini menurut
penulis wajar, karena Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
baru di sahkan oleh pemerintah pada tanggal 11 Februari 1992 dimana pada saat itu,
transaksi elektronik e-commerce belum ada di Indonesia. Apabila kita melihat realita
yang terjadi saat ini, karena urgensinya, asuransi yang melindungi transaksi electronic
commerce tetap disediakan oleh beberapa perusahaan asuransi, dengan alasan transaksi
e-commerce dapat menimbulkan kerugian bagi para pihak yang ada di dalamnya dan
segala bentuk obyek yang dapat menimbulkan kerugian berarti dapat di asuransikan.
Perdagangan melalui Internet dengan menggunakan electronic commerce seperti
dijelaskan sebelumnya memiliki banyak resiko. Resiko-resiko tersebut adalah:
penyadapan, penipuan, penggandaan informasi transaksi, pencurian informasi rahasia,
dan sebagainya. Dalam transaksi electronic commerce yang memanfaatkan kriptografi,
kejahatan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah
pembobolan kunci dan pencurian kunci.
Pembobolan kunci yang dimaksud adalah ketika si pembobol memakai berbagai
cara untuk menemukan kunci yang sama dengan yang asli. Cara pembobolan yang
paling umum digunakan adalah yang dikenal dengan istilah brute force attack, dimana,
si pelaku mencoba berbagai kemungkinan hingga akhirnya ia menemukan kunci yang
cocok.
Secure Electronic Transaction yang menggunakan kriptografi dalam
pengamanannya adalah sistem perdagangan Internet yang relatif paling aman dari
serangan-serangan yang mungkin dilakukan dalam Internet, antara lain pembobolan
kunci dan pencurian kunci. Pembobolan kunci mungkin saja terjadi. Besar kecilnya
kemungkinan ini ditentukan oleh panjangnya kunci. Semakin panjang kunci makin
semakin sulit pula untuk membobolnya.
Di lain pihak khususnya di Indonesia, dalam konteks kekaburan hukum yang
berkenaan dengan cyber insurance atau asuransi yang berkaitan dengan transaksi
electronic commerce, bukan menjadikan masalah yang menyebabkan penegak hukum
untuk tidak menyelesaikan suatu perkara yang diberikan kepadanya, bagaimanapun
keadaannya sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan pasal 22 AB dan pasal 14
undang-undang No. 14 tahun tahun 1970 yang kemudian diubah dengan pasal 16
Undang-undang no. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman mewajibkan “ hakim
untuk tidak menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak
lengkap, atau tidak jelas undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib
mengadilinya.”
Untuk mengatasinya dalam pasal 27 Undang-undang no. 14 tahun 1970 yang
kemudian dirubah dengan pasal 28 ayat 1 Undang-undang no. 40 tahun 2004
menyebutkan : “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Artinya seorang
hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum
(rechtsvinding). Yang dimaksud dengan rechtvinding adalah proses pembentukkan
hukum oleh hakim / aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum
terhadap peristiwa yang kongkrit. Dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya
untuk mengambil keputusan.
Namun, dalam penegakan hukum yang berkenaan dengan perkembangan
teknologi dan informasi, seharusnya pengaturan tentang hal tersebut telah ditetapkan
dalam peraturan tertulis, karena pada dasarnya, perkembangan teknologi akan terus
menerus mengalami perkembangan yang signifikan, sehingga peraturan yang ada harus
dapat mengikuti perkembangan teknologi yang ada, untuk dapat menjamin adanya
kepastian hukum bagi masyrakat.
Perselisihan atau persengketaan dalam asuransi merupakan suatu keadaan yang
tidak dikehendaki oleh para pihak baik tertanggung maupun penanggung. Artinya jika
para pihak didalam asuransi senang bersengketa/berselisih, dapat dipastikan bahwa
pihak tersebut tidak sehat. Akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat apalagi yang
menyangkut transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce, dimana kita hidup di
tengah orang yang berbeda tabiat dan kepentingan, kita pasti tidak akan bisa sama sekali
untuk tidak berhadapan dengan perselisihan/ persengketaan. Perselisihan /
persengketaan di dalam asuransi yang berkenaan dengan transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce itu bisa disebabkan adanya wanprestasi dari para pihak baik
penanggung maupun tertanggung, misalnya apabila klaim asuransi yang diajukan oleh
tertanggung terlambat ataupun tidak dibayarkan oleh pihak penanggung, ataupun pihak
tertanggung yang tidak mau membayarkan premi asuransi sesuai dengan polis yang
telah disepakati pada saat pengajuan asuransi dalam transaksi e-commerce ( cyber
insurance ). Suatu perselisihan / sengketa dalam transaksi bisnis yang menggunakan ecommerce
pada prinsipnya akan melibatkan beberapa Negara yang berbeda sehingga
dalam penyelesaian perselisihan / sengketa, akan terdapat beberapa masalah yang
berkaitan dengan hukum yang diberlakukan ( applicable law) masalah tempat / forum
penyelesaian perselisihan / sengketa, dan masalah eksekusi putusan pengadilan / ADR7.
Dari uraian diatas, dapat diperhatikan bahwa perkembangan teknologi informasi,
sadar atau tidak, telah memberikan dampak terhadap perkembangan hukum, hal ini
merupakan tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi khususnya dibidang
ekonomi dan hukum.
Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan model transaksi baru
dalam dunia perdagangan dan hal ini juga akan menimbulkan sengketa dalam transaksi
bisnis tersebut. Untuk itu, menurut penulis diperlukan adanya revisi peraturan
perundang-undangan tentang asuransi, yang didalamnya terdapat bab khusus, yang dapat
memberikan pengaturan jelas mengenai asuransi yang berhubungan dengan transaksi
bisnis e-commerce ( cyber insurance ) , sehingga para pihak yang secara langsung
berhubungan dengan hal ini, misalnya Bank, Lembaga Penyedia Layanan e-commerce,
Lembaga Otoritas Sertifikat, serta konsumen yang biasa bertransaksi lewat dunia maya,
akan mendapatkan kepastian hukum, sehingga tujuan hukum yang sebenarnya dapat
terrealisasikan. Transaksi e-commerce tidak akan pernah luput dari risiko kerugian.
Perjanjian asuransi antara lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi
merupakan cara tepat untuk mengalihkan risiko kerugian, terutama pada transaksi ecommerce
yang menggunakan kunci kriptografi dan secure electronic transaction.
Upaya ini sekaligus sebagai salah satu sarana perlindungan hukum bagi pihakpihak
yang berkepentingan di dalamnya. Menurut penulis, sekalipun perjanjian cyber
insurance antara lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi merupakan
perjanjian asuransi yang sifatnya baru dan perlu diatur secara khusus di dalam undangundang,
namun dalam pemberlakuannya harus tetap memenuhi prinsip-prinsip yang ada
dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang sebagai dasar peraturan tentang asuransi
di Indonesia.
7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar