Senin, 06 Mei 2013

2.3 REVIEW JURNAL HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN


Fungsi Dialektis Hukum dan Kekuasaan

Fungsi dialektis hukum dan kekuasaan adalah fungsi timbal balik
antara hukum dan kekuasaan. Fungsi hukum dan kekuasaan meliputi
fungsi kekuasaan terhadap hukum dan fungsi hukum terhadap
kekuasaan. Pembahasan pendahuluan akan mendeskripsikan fungsi
kekuasaan terhadap hukum, dimana ada tiga macam fungsi kekuasaan
terhadap hukum.
Pertama, kekuasaan merupakan sarana untuk membentuk hukum,
khususnya pembentukan undang-undang (law making). Kekuasaan untuk
membentuk hukum dinamakan kekuasaan legislatif (legislative power),
yang merupakan kekuasaan parlemen atau badan perwakilan.
Namun dalam perkembangannya, pembentukan undang-undang
tidak lagi menjadi monopoli parlemen, tapi kerjasama antara parlemen
dan pemerintah. Bahkan kecenderungan di berbagai negara menunjukkan
lebih besarnya peran pemerintah dalam pembentukan undang-undang.
Hal itu bisa terjadi karena pemerintah mempunyai tenaga ahli yang
banyak dalam birokrasi pemerintahan guna menyiapkan konsep atau
rancangan undang-undang, yang merupakan produk hukum yang
bersifat umum dan mengikat seluruh warganegara.
Fungsi parlemen juga mengalami perkembangan dan pergeseran.
Sekarang, fungsi pokok parlemen tidak hanya sebagai badan pembuat
undang-undang, namun juga perlu dilihat sebagai media komunikasi
antara rakyat dan pemerintah, serta berfungsi sebagai jalur rekruitmen
kepemimpinan politik sekaligus sebagai badan pengelola konflik yang
berkembang di masyarakat.26
26 Bambang Cipto, Dewan Perwakilan Rakyat, Rajawali, 1995, hlm. 10.
180 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Namun otoritas pembentukan ketentuan hukum yang bersifat umum
bukan hanya menjadi kekuasaan legislatif, tapi juga menjadi wewenang
badan peradilan, khususnya sistem hukum Anglosaxon yang mengakui
yurisprudensi sebagai sumber hukum pokok. Yurisprudensi menjadi acuan
penyelesaian kasus-kasus yang sejenis, sehingga bersifat umum. Dengan
demikian, kekuasaan apa saja yang mempunyai otoritas pembentukan
hukum dipengaruhi pula sistem hukumnya.
Kedua, kekuasaan merupakan alat untuk menegakkan hukum.
Penegakan hukum adalah suatu proses mewujudkan keinginan-keingian
hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan
hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undangundang
yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum.27
Penegakan hukum bukan sekedar menerapkan aturan-aturan hukum
formal saja, tapi juga mengkaitkan secara langsung aturan-aturan hukum
itu dengan semangat atau spirit yang melatarbelakangi lahirnya aturanaturan
tersebut. Penegakan hukum yang semata-mata menegakkan
aturan formal tanpa mengkaitkannya secara langsung dengan semangat
yang terkandung dalam aturan akan berlangsung dengan cara yang
sangat mekanismatik. Padahal tuntutan penegakan hukum tidak terbatas
pada pelembagaan prosedur dan mekanisme, tapi juga pada penerapan
nilai-nilai substantifnya.28
Kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan hukum merupakan
ororitas negara yang kemudian didistribusikan kepada institusi-institusi
formal yang secara operasional melaksanakan fungsi penegakan hukum.
Salah satunya didistribusikan kepada kepolisian, sebagai lembaga yang
akan mendorong masyarakat untuk mentaati aturan-aturan hukum dan
mencegah masyarakat dari pelanggaran hukum (penegakan hukum secara
preventif), agar tercipta ketertiban dan ketenteraman masyarakat.
Di samping itu, otoritas negara untuk menegakkan hukum diberikan
kepada badan peradilan (kekuasan yudikatif) untuk melakukan proses
peradilan terhadap kasus-kasus pelanggaran yang terjadi dalam
masyarakat (penegakan hukum secara represif). Penegakan hukum secara
represif bertujuan untuk mempertahankan legalitas aturan hukum dengan
cara menghukum para pihak yang melanggar hukum.
27 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, hlm. 24.
28 Salman Luthan, “Penegakan Hukum”, 1994.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 181
Ketiga, kekuasaan merupakan media untuk melaksanakan hukum.
Adapun yang dimaksud dengan pelaksanaan hukum adalah upaya
menjalankan (eksekusi) putusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Putusan badan peradilan tidak akan banyak
artinya bagi kehidupan masyarakat jika tidak dilaksanakan secara
konsekwen dan konsisten. Otoritas eksekusi merupakan kewenangan
kejaksaan dan pengadilan.
Mengenai fungsi hukum terhadap kekuasaan ada empat macam.
Hukum adalah media untuk melegalisasi kekuasaan. Legalisasi hukum
terhadap kekuasaan berarti menetapkan keabsahan kekuasaan dari segi
yuridisnya. Setiap kekuasaan yang memiliki landasan hukum secara formal
memiliki legalitas. Namun yang sering menjadi masalah adalah bila
kekuasaan yang legal itu adalah kekuasaan yang sewenang-wenang, tidak
patut, dan tidak adil. Hal itu sebenarnya merupakan masalah legitimasi
kekuasaan, yaitu pengakuan masyarakat terhadap keabsahan kekuasaan.
Legalisasi hukum terhadap kekuasaan mencakup legalisasi terhadap
kekuasaan, kedaulatan, wewenang, dan hak. Legalisasi kekuasan dapat
diberikan kepada lembaga, jabatan, dan orang. Legalisasi kekuasaan bagi
lembaga misalnya, bagi negara, lembaga-lembaga negara, unit-unit dalam
lembaga-lembaga negara, unit-unit pemerintahan, dan lembaga
kemasyarakatan. Legalisasi kekuasaan bagi pejabat misalnya, kewenangan
presiden, kewenangan gubernur, dan kewenangan bupati. Sedangkan
legalisasi hukum bagi orang adalah pemberian atau pengakuan hak bagi
seseorang. Misalnya, hak milik, hak cipta, hak usaha, dan sebagainya.
Kekuasaan yang dilegalisasi hukum belum tentu kekuasaan atau
wewenang yang adil dan patut. Oleh karena itu, agar legalitas hukum
sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepatutan, maka legalitas
kekuasaan juga harus didukung oleh legitimasi etis yang bersandarkan
pada persetujuan masyarakat terhadap kekuasaan.
Fungsi hukum terhadap kekuasaan yang lain adalah untuk mengatur
dan membatasi kekuasaan. Hubungan-hubungan kekuasaan dalam
penyelenggaraan negara harus diatur sedemikian rupa supaya tidak
menimbulkan ambiquitas dan paradoksal di antara kekuasaan-kekuasaan
negara yang ada atau antara kekuasaan pejabat yang satu dengan
kekuasaan pejabat yang lain. Karena hal ini bukan hanya akan
menimbulkan ketidakjelasan wewenang dan pertanggungjawabannya,
tapi juga akan melahirkan ketidaksinkronan dan ketidakpastian hukum.
182 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Untuk menghindari terjadinya ambiquitas dan paradoksal pengaturan
kekuasaan, maka pengaturan kekuasaan harus dilihat dalam konteks satu
sistem hukum. Pendisitribusian wewenang dalam bidang hukum tertentu
harus disinkronkan dengan pengaturan wewenang dalam bidang hukum
lainnya. Misalnya, harus ada sinkronisasi kewenangan antara kewenangan
dalam bidang hukum tata negara dengan kewenangan dalam bidang
hukum pemerintahan.
Selain fungsi melegalisasi dan mengatur kekuasaan, fungsi hukum
terhadap kekuasaan yang lain adalah membatasi kekuasaan. Pembatasan
kekuasaan dapat dilakukan secara sistemik, organik dan yuridis.
Pembatasan kekuasaan dimaksudkan untuk menghindari terjadinya
penumpukan atau sentralisasi kekuasaan pada satu tangan atau pada
satu lembaga. Sentralisasi kekuasaan akan mendorong kepada
otoritarianisme dalam penyelenggaraan negara dan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power).
Menurut Bertrand Russel, sistem yang paling baik untuk mengontrol
kekuasaan adalah sistem demokrasi. Demokrasi dianggap sebagai sistem
terbaik bukan hanya karena adanya konsep pemisahan kekuasaan negara
secara seimbang, tapi juga karena dimungkinkan untuk selalu mengoreksi
kekuasaan tersebut.
Pembatasan kekuasaan secara organik dilakukan dengan membentuk
institusi-institusi pengawasan bagi pelaksanaan kekuasaan, baik yang bersifat
formal maupun yang bersifat informal. Sedangkan pembatasan kekuasaan
secara yuridis dilakukan melalui perumusan wewenang secara jelas mengenai
lingkup wewenang itu, limitasi dan pertanggungjawabannya.
Akhirnya, fungsi hukum terhadap kekuasaan adalah untuk meminta
pertanggungjawaban kekuasaan. Menurut Marion Levy, “kekuasaan
selalu menyimpulkan imbangannya oleh tanggung jawab, yang berarti
pertanggungjawaban dari individu-individu atau golongan-golongan
lainnya atas tindakan-tindakannya sendiri dan tindakan-tindakan orangorang
lain.”29
Pertanggungjawaban kekuasaan dalam konteks hukum adalah
untuk menjaga agar penggunaan kekuasaan dan mekanismenya sesuai
dengan tujuan pemberian kekuasaan tersebut. Penyalahgunaan kekuasaan
dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum. Penyalahgunaan
29 Soemardi, Op. Cit., hlm. 32-33.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 183
kekuasaan dalam bidang hukum administrasi dapat dilakukan melalui
proses peradilan tata usaha negara, penyalahgunaan kekuasaan yang
merugikan kepentingan seseorang atau masyarakat dapat digugat
memalui peradilan perdata. Penyalahgunaan kekuasaan yang masuk
kategori tindak pidana dapat dituntut secara pidana. Demikianlah pokokpokok
pemikiran tentatif mengenai hubungan dialektis hukum dan
kekuasaan.
Penutup
Berdasarkan deskripsi di atas dapat ditarik tiga simpulan. Pertama,
kekuasaan adalah suatu konsepsi hubungan sosial antara dua pihak atau
dua institusi yang bersifat saling pengaruh mempengaruhi, dominatif atau
eksploitatif. Kedua, hakekat hukum dapat ditinjau dari sudut otoritas yang
membentuknya, substansinya dan daya kerjanya dalam mengatur
masyarakat.
Ketiga, dialektika hukum dan kekuasaan melahirkan dua pola
hubungan, yaitu hukum identik dengan kekuasaan dan hukum tidak sama
dengan kekuasaan. Pola hubungan hukum identik dengan kekuasaan
merefleksikan diri dalam bentuk kedaulatan, otoritas, wewenang, dan
hak. Sedangkan pola hubungan hukum tidak sama dengan kekuasaan
memunculkan tiga pola hubungan: supremasi kekuasaan terhadap
hukum, supremasi hukum terhadap kekuasaan, dan hubungan simbiotik
hukum dan kekusaan.
Hubungan simbiotik hukum dan kekuasaan melahirkan hubungan
fungsional di antara keduanya, dimana kekuasaan mempunyai fungsi
tertentu terhadap hukum, dan hukum juga mempunyai fungsi tertentu
terhadap kekuasaan. Kekuasaan mempunyai fungsi sebagai alat untuk
membentuk hukum, menegakkan hukum, dan melaksanakan hukum.
Sedangkan fungsi hukum terhadap kekuasaan meliputi alat untuk
melegalisasi atau menjustifikasi kekuasaan, alat untuk mengatur dan
mengontrol kekuasaan, dan alat untuk mengawasi dan mewadahi
pertanggungjawaban kekuasaan.
184 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Daftar Pustaka
Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum. Chandra Pratama. Jakarta: 1996
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesi. Jakarta. 1986
Bambang Cipto. Dewan Perwakilan Rakyat, Rajawali. Jakarta:1995
Frans Magnis Suseno, Etika Politik, PT Gramedia. Jakarta:1988
Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik , Dhwiwantara.1964.
Karl Olivecrona, Law as Fact, Copenhagen-London: 1939.
L.B. Curzon.. Jurisprudence. M&E Handbook. 1979
Lili Rasjidi,. Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Rajawali. Jakarta: 1988
L.J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, PT Pradnya Paramita. Jakarta:
1986
Max Weber, Wirtschaft und Geselschaft. Tubingen Mohr. 1982.
Miriam Budiardjo, Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa. Sinar
Harapan. Jakarta: 1991
Padmo Wahyono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini,
Ghalia Indonesia. Jakarta: 1984.
Robert Strausz-Hupe.Power and Community. 1956
Salman Luthan, Penegakan Hukum, FH UII Yogyakarta: 1994
Satjipto Rahardjo. Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru. Jakarta 1984
Sri Soemantri, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945, 1984
Soelaeman Soemardi, Pendekatan Terhadap Kejahatan Sebagai Suatu
Fenomena Sosial. 1984
Talcott parsons, The Distribution of Power in AmericanSociety. World
Politics. 1957
_____, Sociological Theory and Modern Society. The Free press. New York:
1967

2.2 REVIEW JURNAL HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN


Hubungan Hukum dan Kekuasaan

Pola hubungan hukum dan kekuasaan ada dua macam. Pertama, hukum
adalah kekuasaan itu sendiri. Menurut Lassalle dalam pidatonya yang
termashur Uber Verfassungswessen, “konstitusi sesuatu negara bukanlah
undang-undang dasar tertulis yang hanya merupakan “secarik kertas”,
melainkan hubungan-hubungan kekuasaan yang nyata dalam suatu
negara”13 Pendapat Lassalle ini memandang konstitusi dari sudut kekuasaan.
Dari sudut kekuasaan, aturan-aturan hukum yang tertuang dalam
konstitusi suatu negara merupakan deskripsi struktur kekuasaan yang
terdapat dalam negara tersebut dan hubungan-hubungan kekuasaan di
antara lembaga-lembaga negara. Dengan demikian, aturan-aturan hukum
yang termuat dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 merupakan
deskripsi struktur kekuasaan ketatanegaraan Indonesia dan hubunganhubungan
kekuasaan antara lembaga-lembaga negara. Struktur kekuasaan
menurut UUD 1945 menempatkan MPR (Majelis Permusyawaratan
Rakyat) dalam hierarki kekuasaan tertinggi. Hierarki kekuasaan di bawah
MPR adalah kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara, yaitu presiden,
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), DPA (Dewan Pertimbangan Agung),
MA (Mahkamah Agung) dan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan). UUD
1945 juga mendeskripsikan struktur kekuasan pusat dan daerah. Di
samping itu, juga dideskripsikan hubungan antara kekuasaan lembaga
tertinggi negara dengan kekuasaan lembaga-lembaga tinggi negara,
hubungan kekuasaan di antara lembaga-lembaga tinggi negara, dan
hubungan kekuasaan antara pusat dan daerah.
Hakekat hukum dalam konteks kekuasaan menurut Karl Olivecrona
tak lain daripada “kekuatan yang terorgansasi”, dimana hukum adalah
“seperangkat aturan mengenai penggunaan kekuatan”, kekerasan fisik
atau pemaksaan yang dilakukan oleh penguasa, tidak berbeda dari
kekerasan yang dilakukan pencuri-pencuri dan pembunuh-pembunuh.14
13 L.J. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT Pradnya Paramita, 1986,
hlm. 70.
14 Karl Olivecrona, Law as Fact, Copenhagen-London, 1939, hlm. 123, 169.
174 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Walaupun kekuasaan itu adalah hukum, namun kekuasaan tidak
identik dengan hukum. Mengenai hal ini Van Apeldorn mengemukakan
bahwa hukum adalah kekuasaan, akan tetapi ini tidak berarti bahwa
hukum tidak lain daripada kekuasaan belaka. Hukum adalah kekuasaan,
akan tetapi kekuasaan tidak selamanya hukum. “Might is not right,”
pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya, akan tetapi tidak berarti
bahwa ia berhak atas barang itu.15
Esensi kekuasaan yang sama dengan hukum tersebut menurut Lassalle
adalah kekuasaan fisik, khususnya kekuasaan tentara dan polisi. Namun
menurut Van Apeldorn, kekuasaan fisik (materiil) itu bukanlah anasir
yang hakiki dari hukum, apalagi anasir yang esensial daripadanya.
Kekuasaan fisik itu biasanya hanya menjadi unsur tambahan: sesuatu
accesoir, bukan bagian dari hukum. Sebaliknya kekuasaan susila adalah
anasir yang esensial dari hukum, yakni kekuasaan yang diperoleh kaidahkaidah
hukum dari nilai yang diberikan oleh masyarakat padanya, dan
berdasarkan hal mana biasanya kaidah-kaidah itu dapat mengharapkan
pentaatan dengan sukarela oleh anggota-anggota masyarakat.16
Kekuasaan fisik adalah kekuasaan yang mengandalkan diri pada
kekerasan atau paksaan untuk memaksa ketaatan masyarakat kepada
aturan hukum yang berlaku dan bila melanggar akan dikenakan sanksi
hukum. Kepatuhan masyarakat kepada hukum sangat ditentukan oleh
kualitas aparatur pemaksa (polisi dan jaksa) dalam menjalankan tugasnya.
Sedangkan kesusilaan adalah kekuasaan batin yang bersumber kepada
kesadaran diri manusia mengenai kebaikan, kepatutan dan rasa keadilan.
Kepatuhan masyarakat kepada aturan hukum bukan karena ada paksaan
dari aparat penegak hukum, tapi berdasarkan kesadaran diri anggota
masyarakat yang dengan sukarela mematuhi aturan-aturan hukum.
Kekuasaan dalam lingkup kebijakan publik, khususnya kebijakan
hukum (legal policy) menetapkan batasan-batasan tindakan bagi seseorang
atau sekelompok orang berkaitan dengan yang dilarang maupun yang
dianjurkan, yang disertai dengan sanksi hukum tertentu. Hal ini bertujuan
untuk menjamin terselenggaranya ketertiban dan ketentraman bagi
hubungan sosial kemasyarakatan.
15 Ibid., hlm. 69.
16 Ibid., hlm. 73.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 175
Di samping hukum sama dengan kekuasaan, pola hubungan hukum
dan kekuasaan yang lain adalah bahwa hukum tidak sama dengan
kekuasaan. Artinya, hukum dan kekuasaan merupakan dua hal yang
terpisah, tapi ada hubungan yang erat di antara keduanya. Hubungan
itu dapat berupa hubungan dominatif dan hubungan resiprokal (timbal
balik). Ada tiga bentuk manifestasi hubungan hukum dan kekuasaan
dalam konteks ini.
Pertama, hukum tunduk kepada kekuasaan. Maksudnya, hukum
bukan hanya menjadi subordinasi kekuasaan, tapi juga sering menjadi
alat kekuasaan, dengan kata lain, kekuasaan memiliki supremasi terhadap
hukum. Oleh karena itu, definisi hukum yang dikemukakan oleh para
ahli menempatkan hukum berada di bawah kontrol kekuasaan.
Pendapat ahli hukum yang menggambarkan pandangan supremasi
kekuasaan terhadap hukum dikemukakan oleh Thrasimachus yang
mengungkapkan bahwa hukum tak lain daripada apa yang berfaedah
bagi orang yang lebih kuat. Pengertian yang hampir sama dikemukakan
pula oleh Gumplowicz yang mengungkapkan bahwa hukum bersandar
pada penaklukan yang lemah oleh yang lebih kuat; hukum adalah susunan
definisi yang dibuat oleh pihak yang kuat untuk mempertahankan
kekuasaannya.17
Dalam perspektif Marxisme, hukum dibuat tidak untuk melindungi
kepentingan seluruh masyarakat, tapi untuk melindungi kepentingan
kelompok elit. Hukum adalah alat kaum kapitaslis untuk melindungi
kepentingannya dalam melakukan kegiatan bisnis, dan alat penguasa
untuk mempertahankan kekuasaannya. Hukum berpihak kepada pihak
yang berkuasa dan kaum kapitalis.
Kedua, kekuasaan tunduk kepada hukum. Artinya, kekuasaan berada
di bawah hukum dan hukum yang menentukan eksistensi kekuasaan.
Dalam pemikiran hukum, tunduknya kekuasaan kepada hukum
merupakan konsep dasar dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Konsep
itu dirumuskan dalam terminologi supremasi hukum (supreme of law).
Supremasi hukum berarti bahwa hukum merupakan kaidah tertinggi
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Hukum sebagai kaidah tertinggi muncul dalam konsep norma dasar
negara (staats fundamental norm) atau grund norm menurut pemikiran Hans
17 Ibid., hlm. 70.
176 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Kelsen. Di samping itu, supremasi hukum juga berarti bahwa penggunaan
kekuasaan untuk menjalankan kehidupan ketatanegaraan dan roda
pemerintahan harus berdasarkan kepada aturan hukum. Tanpa landasan
hukum, kekuasaan tidak memiliki legalitas.
Pada prinsipnya supremasi hukum tidak lain dari rule of law, sehingga
dalam suatu negara hukum harus terdapat supremasi hukum.
Menegakkan supremasi hukum tentunya harus ada rule of law (Loebby
loqman, Kompas 23-9-1999). Rule of law adalah suatu konsep yang
dipergunakan supaya negara dan pemerintahnya, termasuk warga negara
tidak melakukan tindakan kecuali berdasarkan hukum.
Timothy O’hogan dalam The End of Law dan A.V. Dicey dalam Law
and the Constitution menyebutkan prinsip-prinsip utama negara hukum
dalam kaitan tegaknya supremasi hukum. Prinsip-prinsip tersebut meliputi
pemerintahan berdasarkan hukum dan menghindarkan kekuasaan yang
sewenang-wenang, prinsip persamaan di depan hukum (equality before
the law), perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan adanya peradilan
yang bebas dan independen.
Ketiga, ada hubungan timbal balik (simbiotik) antara hukum dan
kekuasaan. Dalam hal ini hubungan hukum dan kekuasaan tidak bersifat
dominatif di mana yang satu dominan atau menjadi faktor determinan
terhadap yang lain, tapi hubungan pengaruh mempengaruhi yang bersifat
fungsional, artinya hubungan itu dilihat dari sudut fungsi-fungsi tertentu
dan dapat dijalankan di antara keduanya. Dengan demikian, kekuasaan
memiliki fungsi terhadap hukum, dan sebaliknya hukum mempunyai
fungsi terhadap kekuasaan.
Kekuasaan Dalam Konteks Hukum
Kekuasaan dalam konteks hukum berkaitan dengan kekuasaan
negara, yaitu kekuasaan untuk mengatur dan menyelenggarakan
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang meliputi bidang legislatif,
eksekutif dan yudikatif. Pengaturan dan penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat dan bernegara itu mencakup pengaturan dan
penyelenggaraan di tingkat pusat dan di tingkat daerah. Dengan
demikian, kekuasaan merupakan sarana untuk menjalankan fungsi-fungsi
pokok kenegaraan guna mencapai tujuan negara.
Kekuasaan dalam konteks hukum meliputi kedaulatan, wewenang
atau otoritas, dan hak. Ketiga bentuk kekuasaan itu memiliki esensi dan
Salman L. Hubungan Hukum dan... 177
ciri-ciri yang berbeda satu sama lain, dan bersifat hirarkis.
Kekuasaan tertinggi adalah Kedaulatan, yaitu kekuasaan negara
secara definitif untuk memastikan aturan-aturan kelakuan dalam
wilayahnya, dan tidak ada pihak, baik di dalam maupun di luar negeri,
yang harus dimintai ijin untuk menetapkan atau melakukan sesuatu.
Kedaulatan adalah hak kekuasaan mutlak, tertinggi, tak terbatas, tak
tergantung, dan tanpa kecuali18.
Kedaulatan atau souvereignity adalah ciri atau atribut hukum dari
negara-negara; dan sebagai atribut negara dia sudah lama ada, bahkan
ada yang berpendapat bahwa kedaulatan itu mungkin lebih tua dari
konsep negara itu sendiri19 Dalam teori kenegaraan, ada empat bentuk
kedaulatan sebagai pencerminan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Keempat bentuk kedaulatan itu adalah kedaulatan Tuhan
(Godsouvereiniteit), kedaulatan negara (staatssouvereiniteit), kedaulatan
hukum (rechtssouvereiniteit), dan kedaulatan rakyat (volkssouvereiniteit)20
Dalam kedaulatan Tuhan, kekuasaan terletak pada sumber kekuasaan
yang berasal dari Tuhan. Menurut paham kedaulatan negara, kedaulatan
itu ada pada negara, dan dalam kedaulatan hukum, yang berdaulat itu
bukan Tuhan dan bukan negara, tapi adalah hukum itu sendiri. Dalam
kedaulatan rakyat, yang berdaulat itu adalah rakyat, dimana rakyat
memberikan kekuasaannya kepada pemerintah melalui sistem pemilihan
umum.
Bentuk kedua kekuasaan dalam konteks hukum adalah wewenang.
Wewenang berasal dari bahasa Jawa yang mempunyai dua arti, yaitu
pertama, kuasa (bevoegdheid) atas sesuatu. Kedua, serangkaian hak yang
melekat pada jabatan atau seorang pejabat untuk mengambil tindakan
yang diperlukan agar tugas pekerjaan dapat terlaksana dengan baik,
kompetensi, yurisdiksi, otoritas21.
Adalah ciri khas negara bahwa kekuasaannya memiliki wewenang.
Maka kekuasaan negara dapat disebut otoritas atau wewenang. Otoritas
atau wewenang adalah “kekuasaan yang dilembagakan”, yaitu kekuasaan
18 Magnis Suseno, Etika Politik, Jakarta, PT Gramedia, 1988, hlm. 53
19 Fred Iswara, Pengantar Ilmu Politik , Dhwiwantara, 1964, hlm. 92.
20 Sri Soemantri, Masalah Kedaulatan Rakyat Berdasarkan UUD 1945, Lihat juga
Padmo Wahyono (ed), Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia,
1984, hlm. 67.
21 Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 633.
178 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
yang defakto menguasai, melainkan juga berhak menguasai. Wewenang
adalah kekuasaan yang berhak menuntut ketaatan, jadi berhak
memberikan perintah22.
Bentuk ketiga kekuasaan dalam hukum adalah hak. Salmond
merumuskan hak sebagai kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh
hukum. Rumusan yang hampir sama dikemukakan oleh Allend yang
menyatakan bahwa hak itu sebagai suatu kekuasaan berdasarkan hukum
yang dengannya seorang dapat melaksanakan kepentingannya (The legally
guaranteed power to realise an interest). Sedangkan menurut Holland
hak itu sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi perbuatan
atau tindakan seseorang tanpa menggunakan wewenang yang dimilikinya,
tetapi didasarkan atas suatu paksaan masyarakat yang terorganisasi 23
Definisi hak menurut Holmes24 adalah “nothing but permission to exercise
certain natural powers and upon certain conditions to obtain protection,
restitution, or compensation by the aid of public force”. Hak dapat pula
diartikan sebagai kekuasaan yang dipunyai seseorang untuk menuntut
pemenuhan kepentingannya yang dilindungi oleh hukum dari orang lain,
baik dengan sukarela maupun dengan paksaan.
Dengan mengacu kepada beberapa pengertian tersebut dapat
diidentifikasikan ciri-ciri hak. Menurut Fitzgerald 25(1966:221), ciri-ciri
yang melekat pada hak adalah:
a. hak itu dilekatkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau
subjek dari hak itu. Ia juga disebut sebagai orang yang memiliki titel
atas barang yang menjadi sasaran hak.
b. Hak itu tertuju pada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban
di mana antara hak dan kewajiban terdapat hubungan korelatif.
c. Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain utnuk melakukan
(monisson) atau tidak melakukan (omission) sesuatu perbuatan. Hal ini
dapat disebut sebagai isi dari hak.
d. Perbuatan atau omission itu menyangkut sesuatu yang dapat disebut
sebagai objek dari hak.
e. Setiap hak menurut hukum itu mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa
tertentu yang merupakan alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya.
22 Suseno, Op.Cit., hlm. 53.
23 Lili Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Rajawali, 1988, hlm. 45.
24 Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 243.
25 Ibid., hlm. 244.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 179
Pengakuan hukum terhadap hak seseorang mengandung konsekuensi
adanya kewajiban pada pihak atau orang lain. Hal itu bisa terjadi karena
hubungan hak dan kewajiban bersifat resiprokal atau timbal balik.
Hubungan hak dan kewajiban terjadi dalam konsep hubungan hukum,
terutama dalam pelaksanaan hubungan hukum (hukum subjektif).
Kewajiban adalah suatu perintah hukum yang mengharuskan seseorang
untuk memenuhi suatu hal yang menjadi hak orang lain atau
melaksanakan perbuatan tertentu.

2.1 REVIEW JURNAL HUBUNGAN HUKUM DAN KEKUASAAN


Hubungan Hukum Dan Kekuasaan
Oleh : Salman Luthan
Dosen FH UII Yogyakarta
E mail:
Abstract
Human being is a social creature which needs each other to fulfill the requirement of
live, anywhere he or she lives. And every place of human live have rules to keep the
peacefulness and justice among the individuals. These rules or laws were born to be
adapted for value expanding in society community compiled by people who have
power. Among law and power cannot be dissociated because law made by authority
and the authority obtain the power passing the laws.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 167

Karakteristik hubungan hukum dan kekuasaan, khususnya dalam hal
legalisasi kekuasaan dan penegakan hukum, dijelaskan oleh Mochtar
Kusumaatmadja dalam satu ungkapkan “hukum tanpa kekuasaan adalah
angan-angan, dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Ungkapan
tersebut, pada satu sisi, mengandung arti bahwa kaidah-kaidah hukum
tidak akan ada manfaatnya jika tidak ditegakkan, dan hukum itu hanya
dapat ditegakkan dengan kekuasaan. Pada sisi lain, ungkapan itu
bermakna bahwa kekuasaan tanpa landasan hukum adalah kesewenangwenangan.
Namun yang sering menjadi permasalahan adalah tolok ukur legalitas
kekuasaan. Apakah setiap kekuasaan yang berdasarkan aturan hukum
dapat dikualifikasikan sebagai kekuasaan sah atau legal? Apakah
kekuasaan sewenang-wenang yang memiliki landasan hukum harus
diterima dan ditaati? Apakah kekuasaan yang sewenang-wenang dapat
melahirkan hukum yang adil? Apakah efektivitas penegakan hukum
tergantung pada legalitas kekuasaan? Dan apakah kekuasaan legal yang
sewenang-wenang dapat menegakkan hukum guna mencapai keadilan?
Meskipun hukum mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
kekuasaan, tapi studi kekuasaan dalam perspektif hukum masih terbatas
sehingga konsep-konsep kekuasaan di dalam ilmu hukum tidak begitu
berkembang. Kecenderungan studi hukum lebih terfokus kepada 2 aspek,
pertama yaitu hukum dipandang sebagai kaidah yang menjadi pedoman
tingkah laku yang bersifat memaksa dan memberikan sanksi kepada orang
yang melanggarnya,dan yang kedua hukum dipandang sebagai realitas
sosial yang terjadi di masyarakat yang dipraktikkan melalui lembaga
peradilan (the living law), adanya pelanggaran-pelanggaran hukum
(perilaku pelanggar hukum), dan ketaatan terhadap hukum. Singkatnya,
hukum mengandung dua pokok utama, yaitu aturan yang seharusnya
dilakukan (das sollen), dan kenyataan yang ada dalam masyarakat (das
sein). Namun dalam kenyataannya hanya hukum yang hidup dan
pelanggaran hukum yang banyak dikaji, sedangkan ketaatan kepada
hukum tidak dianggap sebagai masalah.
Tulisan ini bermaksud mengkaji hubungan dialektis hukum dan
kekuasaan. Masalah pokok yang akan dibahas meliputi: bagimanakah
kekuasaan dalam konteks hukum, bagaimanakah hubungan dialektis
hukum dengan kekuasaan, serta bagaimanakah fungsi kekuasaan
terhadap hukum dan fungsi hukum terhadap kekuasaan?
168 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
Esensi Kekuasaan dan Hukum
A. Esensi Kekuasaan
Kekuasaan merupakan konsep hubungan sosial yang terdapat dalam
kehidupan masyarakat, negara, dan umat manusia. Konsep hubungan
sosial itu meliputi hubungan personal di antara dua insan yang
berinteraksi, hubungan institusional yang bersifat hierarkis, dan hubungan
subjek dengan objek yang dikuasainya. Karena kekuasaan memiliki banyak
dimensi, maka tidak ada kesepahaman di antara para ahli politik, sosiologi,
hukum dan kenegaraan mengenai pengertian kekuasaan.
Max Weber,1 dalam bukunya Wirtschaft und Gesellschaft (1992)
mengemukakan bahwa “kekuasaan adalah kemampuan untuk, dalam
suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan sendiri sekalipun
mengalami perlawanan, dan apa pun dasar kemampuan ini.” Perumusan
kekuasaan yang dikemukakan Weber dijadikan dasar perumusan
pengertian kekuasaan oleh beberapa pemikir lain Misalnya, Strausz-Hupe2
mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemampuan untuk memaksakan
kemauan pada orang lain” Demikian pula pengertian yang dikemukakan
oleh C. Wright Mills3, “kekuasaan itu adalah dominasi, yaitu kemampuan
untuk melaksanakan kemauan kendatipun orang lain menentang, artinya
kekuasaan mempunyai sifat memaksa”
Menurut Talcot Parsons4, kekuasaan adalah kemampuan umum untuk
menjamin pelaksanaan dari kewajiban-kewajiban yang mengikat oleh
unit-unit organisasi kolektif dalam suatu sistem yang merupakan
kewajiban-kewajiban yang diakui dengan acuan kepada pencapaian
tujuan-tujuan kolektif mereka dan bila ada pengingkaran terhadap
kewajiban-kewajiban dapat dikenai oleh sanksi negatif tertentu, siapapun
yang menegakkannya. Pengertian ini menitikberatkan kepada kekuasaan
1 Miriam Budiardjo, “Aneka Pemikiran Tentang Kuasa Dan Wibawa,” Jakarta: Sinar
Harapan, 1991.hlm. l. 16. Lihat juga Max Weber, 1982, Wirtschaft und Geselschaft,
Tubingen Mohr, 1982.
2 Ibid
3 Soelaeman Soemardi, “Pendekatan Terhadap Kejahatan Sebagai Suatu Fenomena
Sosial.” Lihat juga Miriam Budihardjo,Ibid. Lihat juga Robert Strausz-Hupe, Power
and Community, 1956, hlm 12 dan 14.
4 Talcott Parsons, Oktober, “The Distribution of Power in AmericanSociety.” World
Politics. 1957, hlm.139.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 169
publik untuk menegakkan aturan-aturan masyarakat yang bersifat
memaksa demi untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat.
Di samping pengertian kekuasaan sebagai kemampuan untuk
memaksakan kehendak atau kemauan kepada pihak lain, beberapa pakar
mengartikan kekuasaan sebagai kemampuan untuk membatasi tingkah
laku pihak lain. Harold D.Laswell,5 dan Abraham Kaplan mengatakan
bahwa “kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau
kelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok
lain agar sesuai tujuan dari pihak pertama.
Seiring dengan pandangan Laswell dan Kaplan, Van Doorn6
mengungkapkan bahwa “kekuasaan adalah kemungkinan untuk
membatasi alternatif-alternatif bertindak dari seseorang atau suatu
kelompok sesuai dengan tujuan dari pihak pertama”. R.J. Mokken
merumuskan konsep “Kekuasaan adalah kemampuan dari pelaku
(seseorang atau kelompok atau lembaga) untuk menetapkan secara mutlak
atau mengubah (seluruhnya atau sebagiannya) alternatif-alternatif
bertindak atau alternatif-alternatif memilih, yang tersedia bagi pelakupelaku
lain”.
Kekuasaan dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat
dibedakan ke dalam dua kelompok, yaitu kekuasaan negara dan
kekuasaan masyarakat. Kekuasaan negara berkaitan dengan otoritas
negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara tertib dan damai.
Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/kemampuan masyarakat untuk
mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan
kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga
interaksi sosial dapat berjalan secara lancar. Ketidakseimbangan diantara
keduanya akan mendorong terjadinya kekuasaan hegemonik di mana
negara sangat kuat dan masyarakat sangat lemah, sehingga tercipta pola
hubungan dominatif dan eksploitatif. Hal ini mengakibatkan negara bukan
hanya campur tangan dalam urusan-urusan kenegaraan dan
kemasyarakatan, tetapi juga intervensi atas seluruh tindakan masyarakat
yang sebenarnya bukan dalam lingkup wewenangnya.
Selain berarti kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dan
penetapan alternatif-alternatif bertindak, kekuasaan juga mengandung
makna sarana pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat dan atas
5 Miriam Budihardjo, Op. Cit., hlm. 20.
6 Ibid., hlm. 17.
170 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
nama masyarakat.7 Pelaksanaan fungsi-fungsi dalam masyarakat
mencakup pelaksanaan fungsi politik, pelaksanaan fungsi ekonomi,
pelaksanaan fungsi sosial dan budaya, pelaksanaan fungsi hukum dan
pemerintahan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi lainnya. Pelaksanaan fungsi
itu bertujuan untuk memperlancar interaksi sosial dan penyelenggaraan
kehidupan masyarakat.
Untuk keperluan tulisan ini, kekuasaan diartikan sebagai konsep
hubungan sosial dominatif yang menggambarkan adanya suatu kekuatan
yang dimiliki oleh seseorang atau satu pranata untuk memaksakan
kehendaknya kepada orang lain (termasuk pranata lain) yang dilakukan
melalui penetapan perintah-perintah atau pembuatan aturan-aturan
tingkah laku sehingga orang lain menjadi tunduk dan patuh terhadap
perintah-perintah dan aturan-aturan tingkah laku tersebut.
B. Esensi Hukum
Mengenai esensi hukum dapat dikemukakan bahwa ada perbedaan
pandangan di antara para ahli hukum tentang hukum. Perbedaan
pandangan itu dapat dilihat dari pengertian hukum yang mereka
kemukakan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Meskipun ada perbedaan pandangan, namun pengertian itu dapat
diklasifikasikan dalam empat kelompok.
Pertama, hukum diartikan sebagai nilai-nilai. Misalnya, Victor Hugo
yang mengartikan hukum sebagai kebenaran dan keadilan. Sejalan
dengan pengertian tersebut, Grotius8 mengemukakan bahwa hukum
adalah suatu aturan moral tindakan yang wajib yang merupakan sesuatu
yang benar. Pembahasan hukum dalam konteks nilai-nilai berarti
memahami hukum secara filosofis karena nilai-nilai merupakan abstraksi
tertinggi dari kaidah-kaidah hukum.
Kedua, hukum diartikan sebagai asas-asas fundamental dalam
kehidupan masyarakat Definisi hukum dalam perspektif ini terlihat dalam
pandangan Salmond9 yang mengatakan “hukum merupakan kumpulan
asas-asas yang diakui dan diterapkan oleh negara di dalam peradilan”.
7 Talcott Parsons, Sociological Theory and Modern Society, New York: The Free
press, 1967, hlm. 308.
8 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta: Chandra Pratama, 1996, hlm. 39.
9 L.B. Curzon, Jurisprudence, M&E Handbook, 1979, hlm. 24.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 171
Ketiga, hukum diartikan sebagai kaidah atau aturan tingkah laku
dalam kehidupan masyarakat. Vinogradoff10 mengartikan hukum sebagai
seperangkat aturan yang diadakan dan dilaksanakan oleh suatu
masyarakat dengan menghormati kebijakan dan pelaksanaan kekuasaan
atas setiap manusia dan barang. Pengertian yang sama dikemukakan oleh
Kantorowich, yang berpendapat bahwa hukum adalah suatu kumpulan
aturan sosial yang mengatur perilaku lahir dan berdasarkan pertimbangan.
Keempat, hukum diartikan sebagai kenyataan (das sein) dalam
kehidupan masyarakat. Hukum sebagai kenyataan sosial mewujudkan
diri dalam bentuk hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat
atau dalam bentuk perilaku hukum masyarakat. Perilaku hukum terdiri
dari perilaku melanggar hukum (pelanggaran hukum) dan perilaku
menaati aturan-aturan hukum.
Perbedaan pandangan di antara ahli hukum bukan hanya mengenai
pengertian hukum, tapi juga mengenai hakekat hukum. Perbedaan
pandangan mengenai hakekat hukum ini tergambar dari munculnya
berbagai mazhab dalam pemikiran hukum. Pertanyaan pokok tentang
hakekat hukum berkaitan dengan hukum yang benar, apakah hukum
yang benar? Jawaban atas pertanyaan prinsipil tersebut beraneka ragam
dan saling kontradiktif.
Dalam paham hukum agama yang teistik, hakekat hukum adalah
perintah Allah. Hukum yang benar adalah hukum yang difirmankan dan
diperintahkan oleh Tuhan. Menurut doktrin Islam, hukum yang benar
adalah hukum Allah yang dirumuskan dalam Qur’an, dan hukum yang
disabdakan Rasul dalam hadis. Sedangkan bagi paham sekuler, hakekat
hukum tidak ada hubungannya dengan urusan keagamaan dan
ketuhanan, tapi merupakan urusan peradilan, kemasyarakatan, dan
kenegaraan.
Dalam konteks ini hakekat hukum bisa ditinjau dari empat perspektif,
yaitu perspektif otoritas (wewenang), perspektif substantif, perspektif
sosiologis, dan perspektif realis. Perspektif otoritas merupakan pandangan
paham positivisme yang menempatkan keabsahan hukum pada otoritas
pembentukan dan penegakan hukum.
Pemikir positivisme yang cukup berpengaruh, John Austin11
mengemukakan bahwa hukum adalah seperangkat perintah, baik
10 Ahmad Ali, Op. Cit., hlm. 34.
11 Ibid,. hlm. 40.
172 JURNAL HUKUM NO. 2 VOL. 14 APRIL 2007: 166 - 184
langsung ataupun tidak langsung, dari pihak yang berkuasa kepada warga
masyarakatnya yang merupakan masyarakat politik yang independen,
di mana otoritasnya (pihak yang berkuasa) merupakan otoritas tertinggi).
Definisi yang hampir sama dikemukakan pula oleh Blackstone (Abad
XVIII) yang mengungkapkan bahwa hukum adalah suatu aturan
tindakan-tindakan yang ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa bagi
orang-orang yang dikuasai, untuk ditaati.
Berbeda dengan perspektif otoritas, perspektif substantif tidak melihat
keabsahan hukum dari sudut otoritas yang membentuk hukum tersebut,
tapi dari muatan atau isi yang terkandung dalam kaidah-kaidah hukum
tersebut. Pandangan ini tergambar dari pandangan John Locke yang
mengemukakan bahwa hukum adalah sesuatu yang ditentukan oleh
warga masyarakat pada umumnya tentang tindakan-tindakan mereka,
untuk menilai mana yang merupakan perbuatan yang jujur dan mana
yang merupakan perbuatan yang curang.
Perspektif historis meninjau keabsahan hukum berdasarkan
kebudayaan masyarakat, khususnya dalam jiwa rakyatnya. Von Savigny
menggambarkan bahwa keseluruhan hukum terbentuk melalui kebiasaan
dan perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara
diam-diam. Hukum berakar pada sejarah manusia, di mana akarnya
dihidupkan oleh kesadaran, keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
Perspektif sosiologis meninjau keabsahan hukum itu dari sudut
kemampuan atau daya kerja hukum mengatur kehidupan masyarakat.
Pertanyaan pokoknya adalah, apakah hukum itu dapat berlaku secara
efektif untuk mengatur kehidupan masyarakat. Hakekat hukum menurut
perspektif sosiologis adalah hukum yang sesuai dengan fakta-fakta sosial.
Lundstedt mengemukakan hukum sungguh-sungguh berwujud eksistensi
dari fakta-fakta sosial, yang secara keseluruhan berbeda dari sekedar ilusi.
Kaum realis dapat digolongkan ke dalam perspektif sosiologis karena
sama-sama berpijak pada realitas sosial. Hakekat hukum menurut
pandangan realisisme adalah hukum yang hidup, yaitu hukum yang
dipraktekkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa
dan kasus-kasus hukum yang terjadi dalam masyarakat. Holmes12, seorang
hakim agung USA yang menjadi pendiri aliran realis, berpendapat “apa
yang diramalkan akan diputuskan oleh pengadilan, itulah yang saya
12 L.B. Curzon, Op. Cit., hlm. 27.
Salman L. Hubungan Hukum dan... 173
artikan sebagai hukum” Pendapat Holmes ini sejalan dengan pandangan
Llewellyn yang menyatakan bahwa apa yang diputuskan oleh seorang
hakim tentang suatu persengketaan, adalah hukum itu sendiri.

NAMA    : NANDA HENDRO LESMONO
KELAS   : 2EB08
NPM       : 25211091

1.3 REVIEW JURNAL ANALISIS YURIDIS TENTANG HUKUM ASURANSI DALAM TRANSAKSI ELECTRONIC COMMERCE MELALUI PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG


PENUTUP

A. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat penulis kemukakan pada penulisan Artikel ilmiah ini adalah sebagai
berikut:
1. Asuransi dalam transaksi jual beli melalui internet ( e-commerce ), jika di tinjau dari
perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) dapat dibagi menjadi 2 bagian
pokok pembahasan, yaitu :
a. Dari definisi asuransi dalam pasal 246 Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(KUHD), dapat kita ketahui bahwa transaksi jual beli elektronik atau e-commerce
merupakan obyek asuransi, karena segala kegiatan didalam transaksi elektronik atau ecommerce,
dapat menimbulkan kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan
yang diharapkan bagi para pihak yang ada didalamnya. Asuransi dalam transaksi
elektronik ini, kita kenal sebagai cyber assurance. Sedangkan, pihak yang paling
bertanggung jawab atas adanya kerugian didalam transaksi electronic (e-commerce)
adalah lembaga otoritas sertifikat (LOS) yang berperan sebagai pengaman transaksi
elektronik, karena pihak perusahaan e-commerce akan menyerahkan keamanan
websitenya kepada Lembaga Otoritas Sertifikat (LOS) untuk dapat memberikan
perlindungan penuh terhadap website e-commerce yang dimilikinya dari serangan
para cybercrime.
b. Apabila dikaitkan dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 256 KUHD tentang
polis asuransi, maka perjanjian asuransi antara pihak lembaga otoritas sertifikat dengan
perusahaan asuransi harus menyatakan:
1) hari dibuatnya asuransi;
2) nama orang yang menutup asuransi atas tanggungan sendiri atau atas
tanggungan orang ketiga;
3) suatu uraian yang cukup jelas mengenai benda yang dipertanggungkan;
4) jumlah uang untuk berapa diadakan asuransi;
5) bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung;
6) saat bahaya mulai berlaku untuk tanggungan penanggung dan saat berakhirnya
bahaya dimaksud;
7) premi asuransi tersebut; dan Jumlah premi asuransi tergantung pada objek yang
diasuransikan.
8) Pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi penanggung untuk
diketahuinya dan segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak.
Perjanjian asuransi antara lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi
pada dasarnya merupakan asuransi pertanggungjawaban (liability insurance) karena
yang diasuransikan adalah tanggung jawab dari LSO akibat terbongkarnya pengamanan
dalam e-commerce yang menyebabkan salah satu pihak mengalami kerugian.
2. Pihak yang dapat menjadi Subyek Asuransi dalam transaksi elektronik commerce
adalah :
a. Pihak penanggung pada transaksi elektronik melalui internet adalah Perusahaan
asuransi yang menerima jasa asuransi dunia maya ( cyber assurance ).
b. Pihak tertanggung dalam asuransi dunia maya adalah pihak Lembaga Otoritas
Sertifikat ( LOS ) sebagai pihak yang dapat mengalami kerugian.
Sedangkan hal-hal yang dapat menjadi Objek asuransi di dalam e-commerce antara lain:
Transaksi Elektronik dan Sistem Keamanan jaringan.
3. Asuransi dalam transaksi electronic commerce perlu diatur secara khusus di dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia karena perkembangan teknologi informasi telah
memberikan dampak terhadap perkembangan hukum, hal ini merupakan tantangan sekaligus
peluang yang harus dihadapi khususnya dibidang ekonomi dan hukum. Perkembangan
teknologi informasi telah melahirkan model transaksi baru dalam dunia perdagangan dan hal
ini juga akan menimbulkan sengketa dalam transaksi bisnis tersebut. Untuk itu, menurut
penulis diperlukan adanya revisi peraturan perundang-undangan tentang asuransi, yang
didalamnya terdapat bab khusus, yang dapat memberikan pengaturan jelas mengenai asuransi
yang berhubungan dengan transaksi bisnis e-commerce ( cyber insurance ) , sehingga para
pihak yang secara langsung berhubungan dengan hal ini, misalnya Bank, Lembaga Penyedia
Layanan e-commerce, Lembaga Otoritas Sertifikat, serta konsumen yang biasa bertransaksi
lewat dunia maya, akan mendapatkan kepastian hukum, sehingga tujuan hukum yang
sebenarnya dapat terrealisasikan. Transaksi e-commerce tidak akan pernah luput dari risiko
kerugian. Perjanjian asuransi antara lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi
merupakan cara tepat untuk mengalihkan risiko kerugian, terutama pada transaksi e-commerce
yang menggunakan kunci kriptografi dan secure electronic transaction. Perjanjian cyber
insurance antara lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi merupakan perjanjian
asuransi yang sifatnya baru dan perlu diatur secara khusus di dalam undang-undang, namun
dalam pemberlakuannya harus tetap memenuhi prinsip-prinsip yang ada dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang ( KUHD ) sebagai dasar peraturan asuransi di Indonesia.
B. SARAN
Saran yang dapat penulis kemukakan pada penulisan Artikel ilmiah ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi perusahaan penyedia jasa e-commerce, hendaknya mempercayakan perlindungan
website miliknya kepada Lembaga Ortoritas Sertifikat (LOS) yang dapat menjamin
keamanan website e-commerce dari segala bentuk kejahatan dunia maya ( cybercrime ).
Lembaga Ortoritas Sertifikat (LOS) ini sesungguhnya sangat rentan terhadap kerugian,
karena keamanan suatu website e-commerce merupakan tanggung jawab LOS. Sehingga
menurut penulis, untuk mengurai resiko kerugian yang terjadi, hendaknya Lembaga
Ortoritas Sertifikat (LOS) juga mengasuransikan resikonya kepada perusahaan asuransi,
sehingga terjadi pengalihan resiko dari Lembaga Ortoritas Sertifikat (LOS) kepada
perusahaan asuransi.
2. Bagi Pemerintah, perkembangan teknologi informasi telah melahirkan model transaksi
baru dalam dunia perdagangan dan hal ini juga akan menimbulkan sengketa baru dalam
transaksi bisnis e-commerce. Menurut penulis, pemerintah hendaknya melakukan revisi
peraturan perundang-undangan tentang asuransi yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Pengasuransian, yang seharusnya terdapat bab khusus, yang dapat
memberikan pengaturan jelas mengenai asuransi dalam transaksi bisnis e-commerce ( cyber
insurance ) , sehingga para pihak yang secara langsung berhubungan dengan hal ini,
misalnya Bank, Lembaga Penyedia Layanan e-commerce, Lembaga Otoritas Sertifikat, serta
konsumen yang biasa bertransaksi lewat dunia maya, akan mendapatkan kepastian hukum,
sehingga tujuan hukum yang sebenarnya dapat terrealisasikan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Wirjono Prodjodikoro, 1987, Hukum Asuransi di Indonesia, Penerbit PT Intermasa, Bandung.
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 1997, Metode Penelitian, Bumi Pustaka, Jakarta.
Johnny Ibrahim, 2007 Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising,
Malang.
Yahya Ahmad Zein , 2009, Kontrak Elektronik dan Penyelesaian Sengketa Bisnis E-commerce,
Penerbit Mandar Maju, Bandung.
Artikel Ilmiah
Elisatris Gultom, Perlindungan Transaksi Elektronic ( e-commerce ) Melalui Lembaga Asuransi,
Eprint Artikel Universitas Pajajaran, Bandung
Direktorat Jenderal Perdagangan dalam Negeri Republik Indonesia berkerja sama dengan
LKHT-FHUI, 2001, Laporan Penelitian Tahap Pertama versi 1.04, Jakarta.
Internet
Nanang Suryadi, 2011, Perkembangan e-commerce di Indonesia dan di Dunia,
www.ecomm.lecture.ub.ac.id/2011/11/ ( 11 september 2012 )
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha perasuransian

1.2 REVIEW JURNAL ANALISIS YURIDIS TENTANG HUKUM ASURANSI DALAM TRANSAKSI ELECTRONIC COMMERCE MELALUI PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG


C. Urgensi peraturan yang khusus mengatur asuransi dalam transaksi elektronik
melalui internet ( e-commerce ) di Indonesia.

Saat ini kegiatan transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce pada dasarnya
belum diatur secara tegas dan rinci, adapun sekumpulan peraturan internasional yang
mengatur berkaitan dengan transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce ini masih
bersifat umum sehingga dalam rangka penyelesaian sengketa transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce ini masih terjadi kekaburan hukum, keadaan dimana
terjadinya kekaburan hukum dalam hal penyelesaian sengketa transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce ini dapat dilihat dari ketiadaan aturan hukum yang jelas dan
rinci sehingga hal ini akan menghasilkan ketidakmampuan beberapa aspek dalam
menjalakan fungsi penegakkan hukum. Ketiadaan aturan hukum ini juga terjadi pada
pengaturan hukum asuransi dalam transaksi bisnis e-commerce. Pada dasarnya didalam
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) pasal 247 menyebutkan bahwa :
Pertanggungan itu antara lain dapat mengenai: bahaya kebakaran; (KUHD 287 dst.)
bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum dipanen; (KUHD 299 dst.) jiwa
satu orang atau lebih; (KUHD 302 dst.) bahaya laut dan bahaya perbudakan; (KUHD
592 dst.) bahaya pengangkutan di darat, di sungai, dan perairan pedalaman. (KUHD
686 dst.). Apabila kita analisis, didalam pasal ini sudah jelas bahwa KUHD tidak
mengenal adanya asuransi yang berkaitan dengan e-commerce. Bahkan regulasi terbaru
yang dibuat oleh pemerintah Republik Indonesia yang mengatur tentang asuransi, yaitu
Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian pun belum mengatur
asuransi yang berkaitan dengan transaksi elektronik e-commerce. Hal ini menurut
penulis wajar, karena Undang-undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
baru di sahkan oleh pemerintah pada tanggal 11 Februari 1992 dimana pada saat itu,
transaksi elektronik e-commerce belum ada di Indonesia. Apabila kita melihat realita
yang terjadi saat ini, karena urgensinya, asuransi yang melindungi transaksi electronic
commerce tetap disediakan oleh beberapa perusahaan asuransi, dengan alasan transaksi
e-commerce dapat menimbulkan kerugian bagi para pihak yang ada di dalamnya dan
segala bentuk obyek yang dapat menimbulkan kerugian berarti dapat di asuransikan.
Perdagangan melalui Internet dengan menggunakan electronic commerce seperti
dijelaskan sebelumnya memiliki banyak resiko. Resiko-resiko tersebut adalah:
penyadapan, penipuan, penggandaan informasi transaksi, pencurian informasi rahasia,
dan sebagainya. Dalam transaksi electronic commerce yang memanfaatkan kriptografi,
kejahatan tersebut dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah
pembobolan kunci dan pencurian kunci.
Pembobolan kunci yang dimaksud adalah ketika si pembobol memakai berbagai
cara untuk menemukan kunci yang sama dengan yang asli. Cara pembobolan yang
paling umum digunakan adalah yang dikenal dengan istilah brute force attack, dimana,
si pelaku mencoba berbagai kemungkinan hingga akhirnya ia menemukan kunci yang
cocok.
Secure Electronic Transaction yang menggunakan kriptografi dalam
pengamanannya adalah sistem perdagangan Internet yang relatif paling aman dari
serangan-serangan yang mungkin dilakukan dalam Internet, antara lain pembobolan
kunci dan pencurian kunci. Pembobolan kunci mungkin saja terjadi. Besar kecilnya
kemungkinan ini ditentukan oleh panjangnya kunci. Semakin panjang kunci makin
semakin sulit pula untuk membobolnya.
Di lain pihak khususnya di Indonesia, dalam konteks kekaburan hukum yang
berkenaan dengan cyber insurance atau asuransi yang berkaitan dengan transaksi
electronic commerce, bukan menjadikan masalah yang menyebabkan penegak hukum
untuk tidak menyelesaikan suatu perkara yang diberikan kepadanya, bagaimanapun
keadaannya sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan pasal 22 AB dan pasal 14
undang-undang No. 14 tahun tahun 1970 yang kemudian diubah dengan pasal 16
Undang-undang no. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman mewajibkan “ hakim
untuk tidak menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak
lengkap, atau tidak jelas undang-undang yang mengaturnya melainkan wajib
mengadilinya.”
Untuk mengatasinya dalam pasal 27 Undang-undang no. 14 tahun 1970 yang
kemudian dirubah dengan pasal 28 ayat 1 Undang-undang no. 40 tahun 2004
menyebutkan : “hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat”. Artinya seorang
hakim harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum
(rechtsvinding). Yang dimaksud dengan rechtvinding adalah proses pembentukkan
hukum oleh hakim / aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum
terhadap peristiwa yang kongkrit. Dan hasil penemuan hukum menjadi dasar baginya
untuk mengambil keputusan.
Namun, dalam penegakan hukum yang berkenaan dengan perkembangan
teknologi dan informasi, seharusnya pengaturan tentang hal tersebut telah ditetapkan
dalam peraturan tertulis, karena pada dasarnya, perkembangan teknologi akan terus
menerus mengalami perkembangan yang signifikan, sehingga peraturan yang ada harus
dapat mengikuti perkembangan teknologi yang ada, untuk dapat menjamin adanya
kepastian hukum bagi masyrakat.
Perselisihan atau persengketaan dalam asuransi merupakan suatu keadaan yang
tidak dikehendaki oleh para pihak baik tertanggung maupun penanggung. Artinya jika
para pihak didalam asuransi senang bersengketa/berselisih, dapat dipastikan bahwa
pihak tersebut tidak sehat. Akan tetapi dalam pergaulan di masyarakat apalagi yang
menyangkut transaksi bisnis yang menggunakan e-commerce, dimana kita hidup di
tengah orang yang berbeda tabiat dan kepentingan, kita pasti tidak akan bisa sama sekali
untuk tidak berhadapan dengan perselisihan/ persengketaan. Perselisihan /
persengketaan di dalam asuransi yang berkenaan dengan transaksi bisnis yang
menggunakan e-commerce itu bisa disebabkan adanya wanprestasi dari para pihak baik
penanggung maupun tertanggung, misalnya apabila klaim asuransi yang diajukan oleh
tertanggung terlambat ataupun tidak dibayarkan oleh pihak penanggung, ataupun pihak
tertanggung yang tidak mau membayarkan premi asuransi sesuai dengan polis yang
telah disepakati pada saat pengajuan asuransi dalam transaksi e-commerce ( cyber
insurance ). Suatu perselisihan / sengketa dalam transaksi bisnis yang menggunakan ecommerce
pada prinsipnya akan melibatkan beberapa Negara yang berbeda sehingga
dalam penyelesaian perselisihan / sengketa, akan terdapat beberapa masalah yang
berkaitan dengan hukum yang diberlakukan ( applicable law) masalah tempat / forum
penyelesaian perselisihan / sengketa, dan masalah eksekusi putusan pengadilan / ADR7.
Dari uraian diatas, dapat diperhatikan bahwa perkembangan teknologi informasi,
sadar atau tidak, telah memberikan dampak terhadap perkembangan hukum, hal ini
merupakan tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi khususnya dibidang
ekonomi dan hukum.
Perkembangan teknologi informasi telah melahirkan model transaksi baru
dalam dunia perdagangan dan hal ini juga akan menimbulkan sengketa dalam transaksi
bisnis tersebut. Untuk itu, menurut penulis diperlukan adanya revisi peraturan
perundang-undangan tentang asuransi, yang didalamnya terdapat bab khusus, yang dapat
memberikan pengaturan jelas mengenai asuransi yang berhubungan dengan transaksi
bisnis e-commerce ( cyber insurance ) , sehingga para pihak yang secara langsung
berhubungan dengan hal ini, misalnya Bank, Lembaga Penyedia Layanan e-commerce,
Lembaga Otoritas Sertifikat, serta konsumen yang biasa bertransaksi lewat dunia maya,
akan mendapatkan kepastian hukum, sehingga tujuan hukum yang sebenarnya dapat
terrealisasikan. Transaksi e-commerce tidak akan pernah luput dari risiko kerugian.
Perjanjian asuransi antara lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi
merupakan cara tepat untuk mengalihkan risiko kerugian, terutama pada transaksi ecommerce
yang menggunakan kunci kriptografi dan secure electronic transaction.
Upaya ini sekaligus sebagai salah satu sarana perlindungan hukum bagi pihakpihak
yang berkepentingan di dalamnya. Menurut penulis, sekalipun perjanjian cyber
insurance antara lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi merupakan
perjanjian asuransi yang sifatnya baru dan perlu diatur secara khusus di dalam undangundang,
namun dalam pemberlakuannya harus tetap memenuhi prinsip-prinsip yang ada
dalam Kitab Undang- Undang Hukum Dagang sebagai dasar peraturan tentang asuransi
di Indonesia.
7

1.1 REVIEW JURNAL ANALISIS YURIDIS TENTANG HUKUM ASURANSI DALAM TRANSAKSI ELECTRONIC COMMERCE MELALUI PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG


ANALISIS YURIDIS TENTANG HUKUM ASURANSI DALAM TRANSAKSI
ELECTRONIC COMMERCE MELALUI PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM DAGANG
Artikel Ilmiah
Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan
Dalam Ilmu Hukum
Oleh :
FREDERIC HAMONANGAN TUMANGGOR
NIM. 0910110034
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
MALANG
2012
LEMBAR PERSETUJUAN
Artikel Ilmiah :
ANALISIS YURIDIS TENTANG HUKUM ASURANSI DALAM TRANSAKSI
ELECTRONIC COMMERCE MELALUI PRESPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM DAGANG
Oleh :
FREDERIC HAMONANGAN TUMANGGOR
NIM. 0910110034
Disetujui pada tanggal :
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping
Indrati, SH.MS Djumikasih, SH.MH
NIP. 194802221980032001 NIP. 197211301998022001
Ketua Bagian
Siti Hamidah, S.H.,M.M.
NIP. 196606221990022001
ABSTRAK
Seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi di dunia, berbagai hal baru muncul di dalam
kehidupan kita sehari-hari. Salah satunya adalah konsep jual beli secara online melalui internet dengan
menggunakan e-commerce . Dengan e-commerce konsep jual beli tradisonal yang mempertemukan pembeli dan
penjual dalam satu ruangan berubah menjadi konsep jual beli jarak jauh atau telemarketing. Dengan adanya
konsep ini, tentu saja baik penjual dan pembeli akan merasa di untungkan, karena transaksi jual beli yang terjadi
dapat dilakukan 24 jam penuh dengan tidak dibatasi oleh wilayah tertentu. Akan tetapi selain memberikan
keuntungan, tentu saja konsep jual beli jarak jauh melalui e-commerce juga dapat menimbulkan banyak resiko
kerugian, salah satunya adalah serangan cyber crime yang dapat menyebabkan penyalahgunaan data para pihak
dalam e-commerce sehingga mengalami kerugian.
Penelitian dalam Artikel ilmiah ini dilakukan untuk dapat mengetahui dan menganalisis bagaimana
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) mengatur Asuransi yang berhubungan dengan
transaksi elektronik melalui internet (e-commerce), mengetahui dan menganalisis pihak - pihak
yang dapat dijadikan subyek dan obyek asuransi dalam transaksi elektronik melalui internet (ecommerce),
serta menganalisis penyebab perlunya asuransi dalam transaksi electronic commerce
diatur secara khusus di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Metode penelitian yang di pakai dalam penulisan Artikel ilmiah ini adalah metode
Penelitian hukum normatif yang bertujuan untuk menemukan landasan hukum yang jelas dalam
meletakkan persoalan yang diangkat, dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Dagang,
khususnya yang terkait dengan masalah penerapan asuransi dalam transaksi e-commerce.
Berdasarkan pembahasan terhadap hasil penelitian terungkap bahwa dari pengertian dan
batasan tentang asuransi di dalam KUHD, transaksi e-commerce merupakan obyek yang dapat di
asuransikan, karena segala kegiatan didalam transaksi e-commerce, dapat menimbulkan
kehilangan atau kerusakan bagi para pihak yang ada didalamnya.
Pengaturan asuransi mengenai e-commerce di dalam KUHD sebenarnya perlu diatur
secara rinci, sehingga pemerintah hendaknya melakukan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1992 tentang Usaha Pengasuransian, sehingga dapat memberikan pengaturan jelas mengenai
asuransi dalam transaksi bisnis e-commerce atau cyber insurance.

Kata kunci : e-commerce, asuransi, KUHD

ABSTRACT
Along with the development of technology and information in the world, new things arise
in our daily lives. One is the concept of buying and selling online through the Internet using ecommerce.
With e-commerce site selling the traditional concept together buyers and sellers in
one room transformed into the concept of distance selling or telemarketing. In this concept, both
sellers and buyers will feel at profitable, because the sale and purchase transactions that occur do
a full 24 hours with not limited by a particular region. However, in addition to providing the
advantages, of course, the concept of distance selling via e-commerce can also cause a lot of risk
of loss, one of which is the crime of cyber attacks that could lead to misuse of the data of the
parties in the e-commerce making a loss.
The research conducted in this thesis to investigate and analyze how the Book Trade
Justice Act (Commercial code) regulates insurance relating to electronic transactions over the
Internet (e-commerce), identify and analyze the party - a party that can be the subject and object
in the transaction of insurance electronically via the Internet (e-commerce), and to analyze the
causes of the need for insurance in electronic commerce transactions specifically regulated in the
laws and regulations in Indonesia.
Research methods in use in the writing of this paper is the normative legal research
method aims to find a clear legal basis in putting the issues raised, in particular KUHD
perspective on issues related to the implementation of the insurance business transactions
through the Internet (E-Commerce).
Based on the discussion of the results of the study revealed that out of the definition and
limits of insurance in the Commercial code, e-commerce transaction is an object that can be
insured, because of all the activities in e-commerce transactions, may cause loss or damage to the
party in it. Insurance arrangements on e-commerce in the real KUHD regulated in detail so the
government should revise Law No. 2 of 1992 on business assurance, so as to provide clear
regulation on insurance business in e-commerce transactions.

Keywords: e-commerce, insurance, KUHD


PENDAHULUAN
Kegiatan bisnis perdagangan melalui internet yang dikenal dengan istilah Electronic
Commerce saat ini merupakan suatu kegiatan yang banyak dilakukan oleh setiap orang, karena
transaksi jual beli secara elektronik ini dapat mengefektifkan dan mengefisiensikan waktu
sehingga seseorang dapat melakukan transaksi jual beli dengan setiap orang dimanapun dan
kapanpun. Semua transaksi jual beli didalam transaksi Electronic Commerce dilakukan tanpa ada
tatap muka antara para pihaknya, mereka mendasarkan transaksi jual beli tersebut atas rasa
kepercayaan satu sama lain, sehingga perjanjian jual beli yang terjadi diantara para pihak pun
dilakukan secara elektronik pula baik melalui e-mail atau cara lainnya, oleh karena itu tidak ada
berkas perjanjian seperti pada transaksi jual beli konvensional. Kondisi seperti ini tentu sangat
bersiko tinggi, karena, jaringan internet merupakan suatu jaringan terbuka, yang dapat diakses
oleh siapa saja dan dimana saja. Resiko kerugian akibat adanya manipulasi data, maupun
kerusakan data yang diakibatkan oleh para perentas dunia maya atau yang kita kenal sebagai
hacker tentu saja dapat merugikan pihak penyedia layanan e-commerce, penjual, maupun pihak
pembeli didalam transaksi electronic commerce.
Untuk itu, dalam rangka menjamin keamanan didalam transaksi electronic commerce
muncullah berbagi solusi keamanan seperti Digital Signature, Kunci kriptografis, maupun
Secure Electronic Transaction (SET) yang di buat oleh penyedia electronic commerce pada
website mereka dengan tujuan, untuk melindungi para konsumen. Akan tetapi, berbagai solusi
keamanan tersebut tidak memberikan jaminan sepenuhnya kepada perusahaan penyedia
electronic commerce untuk terbebas dari kerugian. Tidak adanya jaminan bahwa transaksi ecommerce
terbebas dari upaya perusakan/manipulasi data tentu akan berdampak pada turunnya
kepercayaan masyarakat terhadap system ini. Padahal dalam trasaksi bisnis di era global seperti
sekarang, kepastian dan keamanan merupakan salah satu pilar penompang berkembangnya
aktivitas ekonomi.
Sesuai dengan yang disebutkan atas, secara teoritis apapun resiko yang muncul dan
mampu menimbulkan kerugian dapat dijadikan obyek asuransi atau dengan kata lain dapat
diasuransikan. Ini berarti, segala bentuk transaksi didalam electronic commerce seharusnya dapat
di asuransikan untuk dapat menjamin kepastian dan keamanannya dalam bertransaksi, serta
memperkecil resiko kerugian yang dapat terjadi. Namun, regulasi yang ada di Indonesia saat ini
belum secara jelas mengatur tentang adanya asuransi yang berkaitan dengan electronic
commerce atau yang kita kenal dengan istilah cyber insurance. Hal ini dikarenakan Negara
Indonesia sampai saat ini masih memakai peraturan perundang-undangan lama peninggalan
Negara Belanda dengan azas konkordasi. Adapun pasal yang mengatur masalah Asuransi atau
Pertangungan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD ) adalah pasal 246
sampai dengan pasal 308 KUHD. Pada pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
(KUHD) menyebutkan bahwa Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana
penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk memberikan
kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak mendapat keuntungan
yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena suatu peristiwa yang tidak pasti.
Namun pada pasal 247, disebutkan Pertanggungan itu antara lain dapat mengenai: bahaya
kebakaran; (KUHD 287 dst.) bahaya yang mengancam hasil pertanian yang belum dipanen;
(KUHD 299 dst.) jiwa satu orang atau lebih; (KUHD 302 dst.) bahaya laut dan bahaya
perbudakan; (KUHD 592 dst.) bahaya pengangkutan di darat, di sungai, dan perairan
pedalaman. (KUHD 686 dst.).
Dari pengertian diatas, dapat kita lihat bahwa KUHD tidak secara jelas mengatur tentang
asuransi atau pertangungan yang berkaitan dengan transaksi electronic commerce. Hal ini
dikarenakan transaksi electronic commerce baru diperkenalkan di Dunia, pada tahun 1994 dan di
Indonesia sendiri baru diperkenalkan sekitar tahun 1996 oleh Dyviacom Intrabum atau D-net 1.
Padahal, peraturan Perundang-undangan terakhir yang dibuat oleh Pemerintah RI tentang
asuransi, adalah Undang-undang nomer 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, atau 4 (
empat ) tahun sebelum e-commerce mulai diperkenalkan di Indonesia. Atas dasar belum pernah
ada penelitian hukum yang mengangkat tentang masalah ketidakadaan aturan hukum yang secara
khusus mengatur tentang asuransi dalam electronic commerce inilah, akhirnya penulis tertarik
untuk mengambil penulisan Artikel ilmiah hukum, dengan judul “ANALISIS YURIDIS
TENTANG HUKUM ASURANSI DALAM TRANSAKSI ELECTRONIC COMMERCE
MELALUI PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM DAGANG ”
1 www.ecomm.lecture.ub.ac.id/2011/11/ diakses pada tanggal 11 September 2012
RUMUSAN MASALAH
Beberapa permasalahan yang diambil dalam penulisan Artikel ilmiah hukum ini, yaitu:
1. Bagaimana Asuransi dalam transaksi jual beli melalui internet ( e-commerce ), jika di tinjau
dari perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) ?
2. Siapakah pihak yang dapat menjadi subyek dan obyek asuransi dalam transaksi elektronik
melalui internet (e-commerce) ?
3. Apakah yang menyebabkan asuransi dalam transaksi electronic commerce perlu diatur secara
khusus di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia ?
METODE PENELITIAN
Untuk mengetahui dan penjelasan mengenai adanya segala sesuatu yang
berhubungan dengan pokok permasalahan di perlukan suatu pedoman penelitian yang disebut
metode penelitian yaitu cara melukiskan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara
seksama untuk mencapai suatu tujuan, sedangkan penelitian adalah suatu kegiataan untuk
mencari, merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan2
Dengan demikian metodologi penelitian sebagai cara yang dipakai untuk mencari,
merumuskan dan menganalisa sampai menyusun laporan guna mencapai satu tujuan.
Untuk mencapai sasaran yang tepat dalam penelitian penulis menggunakan metode
penelitian sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif
pada Artikel ilmiah ini didasarkan pada bahan hukum primer yaitu dengan cara meinventarisasi
pasal-pasal yang berkaitan dengan penerapan asuransi dalam transaksi bisnis melalui internet (ECommerce)
yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) sebagai
dasar regulasi utama. Selain itu dipergunakan juga bahan-bahan tulisan ilmiah lain yang
2 Cholid Narbuko, Abu Achmadi, Metode Penelitian, Jakarta : Bumi Pustaka, 1997.
berkaitan dengan penerapan asuransi dalam transaksi bisnis melalui internet (E-Commerce).
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan landasan hukum yang jelas dalam meletakkan
persoalan yang diangkat, dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
khususnya yang terkait dengan masalah penerapan asuransi dalam transaksi bisnis melalui
internet (E-Commerce).
2. Pendekatan
Dalam kaitannya dengan penelitian normatif di sini akan digunakan beberapa
pendekatan,
yaitu : 3
1). Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan perundang-undangan (statute approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan
terhadap berbagai aturan hukum yang berkaitan dengan penerapan asuransi dalam
transaksi bisnis melalui internet (E-Commerce), seperti : Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD), Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) , Undang-undang
Nomer 2 Tahun 1992 tentang Usaha Pengasuransian, Undang-Undang Nomer 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi elektronik, Peraturan Pemerintah Nomer 73
Tahun 1992 tentang Penyelesaian Usaha Pengasuransian dan peraturan organik lain yang
berhubungan dengan objek penelitian.
2). Pendekatan Konsep (conceptual approach)
Pendekatan konsep (conceptual approach) digunakan untuk memahami konsep- konsep
tentang : konsep perdagangan dan pemasaran jarak jauh melalui internet (telemarketing).
Dengan didapatkan konsep yang jelas maka diharapkan penormaan dalam aturan hukum
kedepan tidak lagi terjadi pemahaman yang kabur dan ambigu
3. Jenis dan sumber bahan hukum
Pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan Artikel ilmiah ini adalah melalui
penelitian kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan
informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa
peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber data kepustakaan diperoleh
dari :
3 Johnny Ibrahim, Teori, Metode dan Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publising, Malang, Jawa Timur, 2007,
hlm. 300
a. Bahan Hukum Primer, terdiri dari :
1) Norma atau kaedah dasar ;
2) Peraturan dasar ;
3) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penerapan asuransi dalam
perdagangan dan transaksi bisnis melalui internet (E-Commerce), terutama dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) , beserta peraturan-peraturan terkait lainnya.
b. Bahan Hukum Sekunder, seperti : hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan
Artikel ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian
ini.
c. Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi
petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier di luar bidang hukum yang
relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.
Pada bab ini merupakan bab pendahuluan yang menguraikan mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan Latar Belakang, Perumusan Masalah, Selanjutnya Situs Web juga menjadi bahan bagi
penulisan Artikel ilmiah ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
4. Teknik Memperoleh Bahan Hukum
Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan Artikel ilmiah, maka penulis
menggunakan metode pengumpulan bahan hukum dengan cara studi kepustakaan (Library
Research), yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah,
surat kabar, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan
materi yang dibahas dalam Artikel ilmiah ini.
5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
kualitatif yaitu mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian di lapangan
yang kemudian dihubungkan dengan teori-teori, asas-asas, dan kaidah-kaidah hukum yang
diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang dirumuskan.
PEMBAHASAN
A. Asuransi dalam transaksi elektronik melalui internet (e-commerce) dalam
prespektif Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Pasal 246 menyebutkan bahwa Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian, di mana
penanggung mengikat diri terhadap tertanggung dengan memperoleh premi, untuk
memberikan kepadanya ganti rugi karena suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak
mendapat keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dapat diderita karena
suatu peristiwa yang tidak pasti.
Dari definisi tersebut, kita dapat mengambil 3 unsur tentang pengertian asuransi
yaitu :
a. Terdapat suatu kerugian akibat adanya suatu kehilangan, kerusakan, atau tidak
mendapatkan keuntungan yang diharapkan akibat dari suatu peristiwa yang
tidak pasti terjadi.
b. Pihak tertanggung berjanji membayar uang premi kepada pihak penanggung
sekaligus atau dengan angsuran.
c. Pihak penanggung berjanji akan membayar sejumlah uang kepada tertanggung,
sekaligus atau secara angsuran jika terjadi / terlaksana unsur pada point a.4
Dari pengertian diatas, dapat kita ketahui bahwa transaksi jual beli elektronik
atau e-commerce merupakan obyek asuransi, karena segala kegiatan didalam transaksi
elektronik atau e-commerce, dapat menimbulkan kehilangan, kerusakan, atau tidak
mendapat keuntungan yang diharapkan bagi para pihak yang ada didalamnya. Asuransi
dalam transaksi elektronik ini kita kenal sebagai cyber assurance.
Apabila kita analisis dari pihak-pihak yang terlibat di dalam transaksi ecommerce
yang antara lain : pembeli, penjual (merchant), issuer, acquirer, dan lembaga
otoritas sertifikat (LOS), sesungguhnya pihak yang paling bertanggung jawab atas
adanya kerugian didalam transaksi electronic (e-commerce) adalah lembaga otoritas
4 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, Bandung, Penerbit PT Intermasa,1987, hal 1
sertifikat (LOS) yang berperan sebagai pengaman transaksi elektronik, karena pihak
perusahaan e-commerce akan menyerahkan keamanan websitenya kepada Lembaga
Otoritas Sertifikat (LOS) untuk dapat memberikan perlindungan penuh terhadap
website e-commerce yang dimilikinya dari serangan para cybercrime.
Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan Lembaga Otoritas Sertifikat
(LOS) mengalihkan resiko yang ia emban kepada pihak perusahaan asuransi, dengan
perjanjian asuransi antara pihak Lembaga Otoritas Sertifikat (LOS) terhadap
perusahaan asuransi.
Perjanjian asuransi antara lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan
asuransi pada dasarnya merupakan asuransi pertanggungjawaban (liability insurance)
karena yang diasuransikan adalah tanggung jawab dari LSO akibat terbongkarnya
pengamanan dalam e-commerce yang menyebabkan salah satu pihak mengalami
kerugian.
Kewajiban penanggung memberikan penggantian kepada tertanggung yaitu
pemberian ganti rugi. Ganti rugi oleh penanggung dalam asuransi e-commerce diberikan
bila tertanggung mengalami peristiwa di mana tertanggung gagal melaksanakan jasa
profesinya atau oleh siapapun tertanggung dianggap bertanggung jawab secara hukum
atas jasa
Dalam secure electronic transaction objek yang dimaksud adalah kunci
kriptografi yang memiliki kemungkinan untuk dicuri. Apabila dikaitkan dengan
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 256 KUHD tentang polis asuransi, maka
perjanjian asuransi antara pihak lembaga otoritas sertifikat dengan perusahaan asuransi
harus menyatakan:5
1. hari dibuatnya asuransi;
2. nama orang yang menutup asuransi atas tanggungan sendiri atau atas tanggungan orang
ketiga;
3. suatu uraian yang cukup jelas mengenai benda yang dipertanggungkan;
4. jumlah uang untuk berapa diadakan asuransi;
5. bahaya-bahaya yang ditanggung oleh penanggung;
5 Elisatris Gultom, Perlindungan Transaksi Elektronic ( e-commerce ) Melalui Lembaga Asuransi, Eprint Artikel
Universitas Pajajaran, Bandung, 2011 hal 15
6. Saat bahaya mulai berlaku untuk tanggungan penanggung dan saat berakhirnya bahaya
dimaksud;
7. Premi asuransi tersebut; dan Jumlah premi asuransi tergantung pada objek yang
diasuransikan.
8. Pada umumnya, semua keadaan yang kiranya penting bagi penanggung untuk
diketahuinya dan segala syarat yang diperjanjikan antara para pihak.
Objek dari perjanjian asuransi e-commerce adalah sistem keamanan jaringan
yaitu kunci kriptografi, tapi yang diasuransikan adalah tanggung jawab, yaitu tanggung
jawab dari tertanggung yang dalam hal ini, adalah Lembaga Sertifikat Otoritas ( LOS )
untuk mengganti kerugian apabila kunci-kunci yang diterbitkannya dicuri atau
dipergunakan secara tidak sah oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Pengggunaan
kunci tersebut mengakibatkan konsumen kehilangan sejumlah uang yang disimpan di
lembaga keuangan penerbit kartu atau bank. Sehingga dari analisa diatas, cukup jelas
bahwa jenis asuransi yang terjadi antara Lembaga Otoritas Sertifikat ( LOS ) dengan
perusahaan asuransi adalah asuransi pertanggungjawaban (liability insurance).
B. Subyek dan Obyek Pertanggungan / Asuransi dalam transaksi elektronik
melalui internet (e-commerce).
1. Pihak yang dapat menjadi Subyek Pertanggungan / Asuransi dalam transaksi
elektronik melalui internet (e-commerce).
Di dalam asuransi dikenal adanya beberapa subyek ( para pihak yang
berkepentingan ) yaitu, pihak penanggung dan tertanggung. Pemaparannya adalah
sebagai berikut :6
1. Pihak penanggung
Penanggung adalah pihak yang bersedia untuk menerima dan mengambil alih
resiko dari pihak tertanggung. Perjanijian tentang pertanggungan / asuransi terjadi antara
kedua belah pihak, dimana penanggung bersedia dan berjanji untuk memberikan
penggantian (konpensasi) kepada pihak tertanggung, apabila pihak tersebut mengalami
6 Direktorat Jenderal Perdagangan dalam Negeri Republik Indonesia berkerja sama dengan LKHT-FHUI, Laporan
Penelitian Tahap Pertama versi 1.04, Jakarta, 2001, hal. 161
kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan karena suatu peristiwa yang tidak
tentu, sesuai yang disepakati di dalam perjanjian. Penanggung dapat berupa pribadi
kodrati (perorangan), ataupun berupa badan hukum (perusahaan asuransi).
Apabila kita analisis dan kita kaitkan pada asuransi dalam dunia transaksi
elektronik melalui internet, menurut penulis, yang menjadi pihak penanggung pada
transaksi elektronik melalui internet (e-commerce) adalah perusahaan asuransi yang
menerima jasa asuransi dunia maya ( cyber assurance ). Contoh kongkrit perusahaan
asuransii di Indonesia yang menerima jasa asuransi dunia maya, misalnya : PT Asuransi
Adira Dinamika (Adira Insurance ).
2. Pihak tertanggung
Tetanggung adalah pihak yang sesuai perjanjian akan ditanggung oleh pihak
penanggung. Yang dapat menjadi tertanggung adalah pribadi kodrati (perorangan),
sekelompok orang atau lembaga, badan Hukum termasuk perusahaan, atau siapapun
yang dapat menderita kerugian.
Apabila kita analisis dan kita kaitkan pada asuransi dalam dunia transaksi
elektronik melalui internet, menurut penulis, yang dapat menjadi pihak tertanggung
dalam asuransi dunia maya adalah pihak Lembaga Otoritas Sertifikat ( LOS ) sebagai
pihak yang dapat mengalami kerugian.
Lebih lanjut, berdasarkan pasal 1 butir (7) UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian, maka ditemukan apa yang dikenal sebagai perusahaan reasuransi, yaitu
perusahaan yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap resiko yang
dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa. Fungsi
perusahaan Reasuransi disini adalah pihak (badan hukum bukan perorangan) yang
menanggung kerugian yang dialami oleh Perusahaan Asuransi. Jadi dalam hubungannya
perusahaan Asuransi adalah pihak tertanggung dan perusahaan reasuransi adalah pihak
penanggung. Menurut penulis, resiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi berkenaan
dengan asuransi dunia maya (cyber assurance ) juga dapat di reasuransikan kepada
pihak perusahaan reasuransi, misalnya : Perusahaan Asuransi Adira Finance sebagai
pihak penanggung resiko kerugian Lembaga Otoritas Sertifikat Digital Symantec
Corporation, mereasuransikan resikonya kepada perusahaan reasuransi, PT Reasuransi
Nasional Indonesia ( PT.RNI ).
2. Hal yang dapat menjadi Obyek Pertanggungan / Asuransi dalam transaksi
elektronik melalui internet (e-commerce).
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, hal yang dijadikan sebagai
objek dalam suatu perjanjian asuransi adalah segala sesuatu yang merupakan isi atau
bagian dari perjanjian tanggung menanggung antara penanggung dengan tertanggung
yang mencakup benda dan jasa, jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab
hukum serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi atau berkurang
nilainya.
Objek asuransi menurut pasal 268 Kitab Undang–undang Hukum Dagang.
Adalah semua kepentingan yang:
a. dapat dinilai dengan sejumlah uang
b. dapat takluk terhadap bermacam-macam bahaya
c. tidak dikecualikan oleh undang-undang.
Berdasarkan penjelasan mengenai obyek pertanggungan asuransi secara umum
menurut KUHD, maka jika kita analisis lebih mendalam, hal-hal yang dapat menjadi
objek asuransi di dalam transaksi elektronik antara lain:
1. Transaksi Elektronik
Transaksi elektronik dapat dijadikan objek dari asuransi, dalam arti bahwa
resiko yang perlu diasuransikan adalah kerugian yang terjadi dalam hal data pesan
(message) yang hendak disampaikan, gagal sampai ke tempat tujuan karena sesuatu hal.
2. Sistem Keamanan jaringan
Suatu otoritas sertifikat menyediakan sarana atau sistem untuk melakukan
hubungan telekomunikasi antara para pengguna jasa. Hubungan komunikasi tersebut
dapat terjadi kapan saja dan dapat dilakukan oleh siapa saja. Sistem yang disediakan
oleh penyedia jasa tersebut dapat mengalami gangguan kerusakan, baik itu bersifat
teknis sementara maupun yang bersifat memaksa karena bencana alam misalnya.


NAMA     : NANDA HENDRO LESMONO
KELAS    : 2EB08
NPM        : 25211091